Minggu, 02 Maret 2014

The Precious Friendship

I don't know what kind of feeling it is. Just feel lonely, suddenly. So quiet and clear.
Without you in our room...
I open my door when I came back from traveling and suddenly i wanna cry.
I never see your desk so clean like today. It seems like it is not my room.
I saw your goodbye paper at the door.
Every night we always discuss some world problem to solve, but now i am alone.
I have so much story to tell you, as always, but now i just can keep it for my self. Thanks for always listening and share so much thing. It is precious for me.

It just like a dream, i remember our first day here. I am so happy to death when I saw you on the way to dorm.
But time goes so fast,
I will never forget the good time that we spent together
In mosque every Friday, and when you got penalty because your urban card is expired. We try to find a way to not pay penalty. Have you paid for it? :D
In mosque when we cook together and got success! Everyone like our food!
When holiday is too long and we are stuck in dorm because outside is cold, we try to discover the management system in several countries.
The time that we laugh out loud when we watch running man for the first time.
The persons that we interview because we wanna write something interesting about Islam in Europe.
Your story about Turkey always make me excited and made me write good status on Facebook.

I am grateful because I have good roommate.










Sabtu, 01 Februari 2014

Karena CINTA

Iqomat sudah dikumandangkan. Ada rasa sesal dalam hati karena datang ke masjid terlambat. Tapi ya bagaimana lagi memang sudah begitu jalannya (baca kenapa saya bisa terlambat disini). Terburu-buru kami masuk masjid dan segera menuju ke ruang akhwat. Sudah banyak sister disana, mereka bersiap-siap untuk sholat. Shafnya ternyata kepanjangan, saya pindah ke belakang bersama seorang sister yang belum pernah ditemui sebelumnya. Tak ada waktu untuk berkenalan, fokus sholat.

Di shaf belakang, hanya saya dan sister berkerudung biru tadi. Sepanjang waktu sholat saya merasa dia seperti yang gelisah. Kakinya dihentak-hentak, badannya goyang-goyang. Saya jadi kurang fokus saat itu. Saat masuk ke gerakan sujud dan semua gerakan sholat lainnya, saya mulai merasa ada keganjilan. Dia memperhatikan gerakkan saya sebelum dia melakukannya. Waduuuh, beneran ngga bisa konsen ini.

Setelah salam dia langsung pindah ke ruangan ikhwan. Kemudian diumumkanlah bahwasanya ada seorang sister yang hari ini mengucap syahadat. Itu adalah sister yang berada di sebelah saya tadi! Pantesan dia seperti yang masih belajar gerakan sholat. Mashaa Allah.. *merinding

Saat itu semua sister berkumpul di kelas dan saling berdiskusi. Kebetulan banyak sister baru disana, jadi diskusinya tambah seru. Dari mulai bagaimana mereka menemukan Islam, sampai persoalan umat Islam di Tunisia, Mesir, Turki, dsb. 

"Mungkin ngga sih ada orang Islam yang dia keluar dari agamanya? Kalau ada biasanya karena apa?" tanya seorang sister
"Banyak juga lho" jawab saya
"Wah beneran? Kok bisa? Di Indonesia ada yang keluar dari Islam?" tanya seorang sister yang lain
Saya ketawa, "Ada lho. Yang paling baru ada berita seorang artis yang keluar dari Islam gara-gara mau nikah sama kekasihnya yang beda agama"
"What? It is impossible. Dia percaya dari satu Tuhan ke tiga??" Mereka kaget
"Ya  begitulah, alasan utamanya bukan karena Tuhan tapi ya karena cinta tadi" ujar saya
"Whoa that's creepy!" 
Saya cuma tersenyum. Ya, saya malu mengatakan bahwa selain karena cinta tadi, ada pula yang keluar agama karena se-dus mie instan, atau persoalan ekonomi.

Memang persoalan di setiap negara tak lepas dari persoalan sistem yang diterapkan. Termasuk dalam urusan melindungi akidah. Ternyata masih banyak pekerjaan rumah di Indonesia. Tetep semangat!

Beruntung atau buntung?

Pernah ngga sih ngerasa kadang-kadang kemujuran itu ngga berpihak kepada kita? Bagi saya beruntung atau tidak beruntung itu relatif. Jika kita terbiasa berpikiran positif, bahkan hal yang paling menyakitkan pun masih bisa ditanggapi dengan woles.
*pembukaan selesai, masuk ke cerita inti.

Waktu di Rancaekek dulu, saya ini adalah pelanggan setia kereta api. Meski hitam, meski bau, meski kotor, tapi karena cinta (baca: ngga ada pilihan lagi) akhirnya saya naik kereta selama enam tahun terakhir. Kereta di Indonesia itu jam datengnya kayak jelangkung, ngga bisa diprediksi. Walhasil selama enam tahun itu hidup saya dihiasi dengan cerita-cerita bersama si hitam kereta api. Dan yang paling banyak adalah cerita tentang; Menunggu.

Kadang kalau lagi males, saya suka lama kalau mau siap-siap ke kampus. Dalam pikiran; Ah, paling nanti keretanya telat lagi. Saya berangkat ke stasiun deket-deket jam keberangkatan. Ternyata eh ternyata ketika sampai Stasiun saya harus menahan perih dan luka (lebay) saat melihat gerbong kereta berjalan mengular di depan saya. Oh kereta, setidaknya jika kau ingin meninggalkanku, jangan biarkan aku melihatmu pergi...

Kadang kalau lagi rajin (ini beneran kadang-kadang), saya suka berangkat pagi-pagi. Ngga boleh terlambat! Nanti ketinggalan kereta, rusaklah semua rencana saya seharian. Akhirnya dengan semangat 45 saya berangkat ke stasiun setengah jam lebih awal. Ternyata eh ternyata, keretanya mogok lah, keretanya telat lah, dan pada akhirnya saya pun menunggu lagi.

Ya begitulah, selama saya naik kereta saya sering sekali menunggu. Baik itu menunggu kereta yang telat, atau menunggu kereta berikutnya karena saya yang telat. Ckckck... Hidup seperti ini membuat saya jadi kebanyakan bikin alesan. Dan yang paling menjadi kambing hitam adalah: Keretanya telat. Meskipun memang selalu berhasil. Dosen pada baik kalau di kampus karena tau saya ini orang gunung. :D

Sekarang situasinya beda, saya hidup di negara yang transportasinya relatif lebih disiplin (relatif lho ya, kalau dibandingin Indonesia ya iya, tapi kalau dibandingin Jepang masih kalah *temen Jepang yang bilang). Disini saya terbiasa menggunakan tram atau bus sebagai transportasi utama. Karena tram datang selalu tepat waktu maka secara tidak langsung mengajari saya berperilaku disiplin terhadap waktu, teliti dan jujur.

Lho kok teliti dan jujur?

Disini dan di beberapa negara eropa lainnya, kita membeli tiket di mesin khusus. Setelah membeli tiket, kita perlu memvalidasi di dalam tram untuk menunjukkan waktu pemakaian pertama. Ada yang 30 menit, 1 jam, 1 hari, 1 minggu, dsb. Awal-awal saya di Poland, saya suka aneh, kok ngga ada yang meriksa tiket ya? Apa negara ini sudah sedemikian kaya? Kalaupun ngga beli tiket ngga akan ketahuan (tapi saya selalu beli tiket lho, suer!). Intinya sistem disini melatih kita untuk jujur. Karena ribet kalau harus beli tiket tiap kali naik tram, akhirnya saya menggunakan urban card. Sistemnya langganan bulanan (bisa semau kita lho berapa bulan yang diinginkan). Ini asyik banget, harganya jauh lebih murah dan sebagai student saya happy terus karena didiskon setengah harga. (Kereta di Indonesia tega banget, student bayar sama dengan karyawan). 

Nah, saya dan teman sekamar saya menggunakan urban card untuk jangka waktu 2 bulan. Saya harus teliti kapan tanggal terakhir habis dan segera membeli tiket untuk waktu berikutnya. 
Jum'at kemarin saya pun berangkat dengan teman sekamar ke masjid untuk menimba ilmu. Di dalam bus ada bapak-bapak yang mengecek tiket kita. Glek! Saya deg deg plas takut tiketnya kadaluarsa. Namun ternyata saya selamat, alhamdulillah...

Sekarang giliran temen sekamar saya, bapak-bapak itu terdiam saat melihat keterangan di mesin. Berkata sesuatu padanya dalam bahasa Polandia. Temen saya geleng-geleng ngga ngerti, saya berbisik "Mungkin tiketmu kadaluarsa"

Ternyata benar! Urban card-nya sudah berakhir masa berlakunya. Dan tahukah kamu berapa lama masa kadaluarsanya? 2 jam! Ya, tiketnya kadaluarsa hanya dua jam yang lalu. Bapak-bapak itu kemudian menuliskan sesuatu, menanyakan nama, wah saya ikut panik juga. 

Pada akhirnya dia harus membayar denda sekitar 500ribu karena tiketnya kadaluarsa. Tidak ada alasan apapun, meski hanya semenit jika sudah kadaluarsa ya harus bayar denda. Hiks..

Sepanjang perjalanan kedua dia manyun, "Kenapa oh kenapa? Selama dua bulan saya menggunakan kartu ini, ngga pernah ada yang ngecek tiket. Sekarang, hanya dua jam dia habis masa berlaku, mereka datang kepadaku" 

Saya nyengir, ya begitulah hidup.
Kami kemudian bermain Happy Game. Intinya, kita harus menemukan alasan yang membuat kita happy saat ada kejadian buruk menimpa kita. 
"Saya tahu! Alhamdulillah kamu di denda di Polandia, coba kalau kamu ada di Austria. Ngga beli tiket dendanya 150 euro (2juta-an)." ujar saya
Dia mulai tersenyum.
"Kau tau sobat, masalah beruntung atau buntung itu masalah perspektif. Intinya kenyataannya tidak berubah, namun kita bisa menyikapinya dengan penyikapan yang berbeda. Ambil positifnya saja, setidaknya 500ribu adalah harga yang harus dibayar untuk belajar tentang ketelitian"

Dan tram pun melaju.

 

Rabu, 29 Januari 2014

Diantar Sabar Ditemani Rindu

Seandainya kecepatan cahaya berlaku pada manusia normal
Angka 10,415 km tak akan ada artinya
Kita tak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu
Pertemuan denganmu tak perlu diantar rasa sabar

Seandainya sifat gelombang berlaku pada manusia normal
Tak perlu lagi kutatap wajahmu di kotak ukuran 10 inchi
Persis sama dengan delapan tahun yang lalu
Saat memendam rindu namun hanya bisa melihat dari jauh
Belum saatnya bisa disentuh

Seandainya sinyal GSM berlaku pada manusia normal
Tak perlu lagi kukirimkan kata-kata tak bersuara 
Aku bisa langsung membisikkannya ditelingamu
Tentang cinta dan sayang serta rasa rindu yang menggebu

Apalah lagi aku pun tak tahu
Ketika ruang dan waktu mengajari kita sesuatu
Ketika semua hal disekitarku mengingatkanku tentangmu
Seseorang yang jauh
Namun dekat

Ah ya mungkin ini 
Yang dikatakan orang 
Bahwa aku benar-benar

Merindukanmu...

Sudut kamar, akhir Januari..
Masih 2 bulan 2 hari lagi
Masih enam puluh dua hari lagi
Masih 1488 jam lagi
Masih 89,280 menit lagi
Masih 5 juta detik lagi

Selasa, 28 Januari 2014

Karena aku mencintai dakwah ini...

Entah darimana saya harus memulai tulisan ini. Malam ini saya sedih dan membuat saya jadi berpikir. Betapa banyak hal yang perlu dievaluasi dan diperbaiki dari cara saya berdakwah selama ini. Ada sebuah status dari orang yang berilmu, saya mengenal background beliau-beliau yang belajar sangat serius terhadap Islam. Awalnya saya mau menuliskan disini isi dari statusnya, tapi sepertinya akan memancing kontroversi. Biarlah saya ceritakan apa yang bisa saya ambil pelajaran dan hikmah dari status beliau.

Sebagai generasi muda yang masih semangat membara dalam menyampaikan Islam, nampaknya ada satu hal yang perlu menjadi perhatian.
Etika.
Kita berdakwah untuk menyampaikan Islam, jangan sampai apa yang kita lakukan justru menutup pintu hati mad'u kita. Terlebih jika kita bergabung di sebuah barisan dakwah. Kesalahan kita akan menjadi penghalang bagi generasi berikutnya yang akan berdakwah di tempat yang sama. Beberapa kali saya mencoba masuk ke sebuah masjid dan sekolah untuk menyebarkan Islam. Namun ditolak dengan alasan, dulu pernah ada juga yang datang dari kelompok yang sama dan dia begini dan begitu. Misalnya berdakwah tidak dengan cara yang ma'ruf, sembarangan menuduh, tidak menggunakan bahasa yang santun, dsb. Tak penting bagi mereka bahwa saya adalah orang yang benar-benar berbeda. Saya berada di barisan yang sama dengan orang yang sebelumnya, maka saya sama dengan mereka. Titik. Dari sana saya belajar bahwa penting bagi kita untuk berhati-hati ketika berdakwah. Itulah yang menyebabkan perlunya persiapan yang matang sebelum meluncur ke medan dakwah. Penting bagi kita untuk mengetahui audience yang akan mendengarkan dakwah kita. Sehingga kita bisa berbahasa sesuai dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh audience. Bukankah esensi dakwah itu adalah agar Islam sampai kepada mereka?

Begitu pun ketika kita berdakwah di acara orang lain. Kadangkala kita benar-benar greget untuk menyampaikan ide yang kita miliki. Tak sadar bahwa terkadang kita tidak mengontrol bahasa yang kita gunakan, tidak melihat situasi dan kondisi bahwa komentar kita malah akan menjadi boomerang bagi kita sendiri. Jika kita datang ke sebuah majelis ilmu (siapapun yang mengadakan), maka niatkan untuk mencari ilmu. Jangan sampai perbedaan menjadi penghalang bagi kita untuk mendapatan ilmu dari mereka. Jauhi niat bahwa saya ingin mematahkan argumen pembicara yang tidak sesuai dengan pemahaman yang dimiliki. Memberikan pertanyaan atau pernyataan yang menyudutkan dan jauh dari topik hanya akan menebalkan perbedaan dan menimbulkan perpecahan. Jikapun memang ingin bertanya, pilihlah kata-kata yang baik dengan nada yang baik, dan diniatkan bahwa saya memang benar-benar ingin bertanya. Bukan ingin menjatuhkan.

Berikutnya, jangan menganggap remeh kebaikan yang sudah dilakukan oleh orang lain. Kita tak pernah benar-benar tahu siapa pribadi yang lebih baik di mata Allah. Jauhi sifat gampang menjudge, perbanyaklah berkaca. Jika seseorang berniat untuk melakukan kebaikan, maka dukunglah dia. Terlepas kebaikan jenis apa yang dilakukannya, jangan dicela. Yang dia lakukan itu adalah sebuah kebaikan yang bisa jadi caranya lebih bisa diterima oleh ummat ketimbang cara kita. Jika ada hal-hal yang memang melanggar ketentuan agama, maka luruskanlah secara hanif. Namun selama dia masih berada di barisan dakwah, selama yang disampaikannya adalah kebenaran, mari kita dukung.

Dakwah itu proses yang memerlukan waktu. Perubahan itu tidak instan dan perlu kesabaran. Jangan tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan dan melakukan sebuah aksi. Karena sedikit banyak hal tersebut akan mempengaruhi perjalanan dakwah yang lain.

Selama berdakwah saya jadi banyak berkaca dan banyak merenung. Ada dua hal yang selalu menjadi bahan renungan saya setiap saya selesai mengisi sebuah kajian. Apakah cara saya dalam menyampaikan sudah benar? Apakah saya sudah melaksanakan apa yang saya sampaikan?
Wallahu'alam bishowab

Minggu, 26 Januari 2014

Jam Tidur

Salah satu yang paling bikin saya bingung selama disini adalah: Jam Tidur.
Waktu di Indonesia, jam tidur saya adalah jam 9-10 malem. Soalnya saya pernah baca kalau jam 22.00-02.00 itu waktunya hati bekerja. Hati dalam konteks sebenarnya lhooo... Makanya kita harus dalam kondisi tidur biar kerjanya pool. Kalau misalnya kita sering begadang, nanti kena liver. Ya begitulah yang saya baca. Makanya disini pun saya tetep tidur jam 9 malem atau jam 10 malem.
Kapan bangunnya?
Sebetulnya kalau di Indonesia saya bangun jam 4 shubuh. Tapi disini berhubung winter, jadi paginya lebih siang. Sholat shubuh jam enam, dan matahari baru muncul jam setengah 8 pagi. Walhasil kadang-kadang pas bangun saya masih mikir ini tengah malem. Jadi ya tidur lagi. *Modus. Rata-rata saya bangun jam enam sih hehehe... *berasa lama banget ya tidurnya

Masalahnya, saya suka aneh sama jam tidur orang Eropa, termasuk temen sekamar saya. Kalau pemuda dan pemudi yang lain sih karena mereka suka party *klubbing, akhirnya mereka pulang ke dorm jam 3-4 shubuh. Bangun lagi siang atau kalau misalnya besoknya kuliah pagi ya bangun pagi. *kadang mikir kok bisa ya.

Temen sekamar juga sama, dia tidur paling cepet jam 12 malem. Seringnya jam 2-4 shubuh. Tentu dia ngga ikut klubbing, cuma ngga bisa tidur katanya. Selama nunggu kantuk menyerang, dia biasanya ngutak ngatik komputer dan belajar. Dan dia bangun sekitar jam 12 siang.

Walhasil setiap kali saya bangun, mungkin saya adalah satu-satunya orang yang bangun pada jam tersebut. Terlebih kalau wiken. Kecuali ya tadi, kalau mahasiswa yang lain ada kelas pagi, mereka pasti bangun pagi.
Ah ya, kebiasaan yang saya ngga mau ubah ketika disini adalah: bangun pagi. Karena di pagi hari segala sesuatunya masih fresh. Harus dimanfaatkan... Rasulullah juga tidur awal bangun awal kan?

Kesimpulannya? Mari bangun pagi

Jumat, 24 Januari 2014

Membaca Pikiran

Kalau misalnya kamu ditawarin, mau ngga punya kemampuan membaca pikiran?
Kalau saya ogaaaahhh....
Bukan apa-apa, saya ngga mau jadi ilfill sama orang-orang yang saya sayangi dan cintai sepenuh hati (halah).
Manusia itu kan komposisinya banyak mengandung racun-racun penyakit hati. Soal ditampakkan atau engga, itu tergantung dari kekuatan iman kita untuk melawannya. Terkadang terbesit dalam hati rasa-rasa su'udzan, iri, dengki, nah itulah yang berusaha kita lawan dan kita hindari.
Bagi saya, jika ada orang yang baik sama saya, saya akan melihatnya sebagai orang baik. Titik. Saya ngga mau su'udzan kalau sebenarnya dia itu begini dan begitu. Kalaupun ada yang bilang sama saya begini dan begitu, saya ngga akan langsung menjudge sebelum benar-benar informasinya valid. Untuk kemudian di follow up ke yang bersangkutan tentunya.
Lha, coba kalau saya bisa baca pikiran dia, mungkin saya banyak ilfill sama orang yang saya cintai, karena ketulusan itu butuh perjuangan, jadinya langka. Artinya? Saya ngga mau baca pikiran negatif dia!

Oke sebenernya begini... (mulai deh curhat)
Saya disini, di tempat yang jauh dari Rancaekek, saya merasa dikelilingi oleh orang baik. Mereka teman asli dari Poland lho, bukan imigran. Baik itu tetangga kamar sebelah, dosen yang luar biasa sabar, teman-teman satu lab yang perhatian, teman-teman di kelas bahasa, di kelas budaya. Mereka baik-baik... Seingat saya, orang yang kenal sama saya (kenal lho, bukan cuma yang ketemu di jalan), mereka baik semua.
Sampai suatu ketika ada seorang sister yang berkata kepada saya;
"Gimana selama di Poland? Nyaman ngga bergaul sama orang Poland?"
Well, saya semangat banget cerita tentang teman-teman, dosen, semuanya baik-baik dan seru!
Eh, dia bilang sama saya kayak gini;
"Saya orang Poland asli lho, saya tahu sebenernya mereka itu gimana. Bisa jadi mereka ngga menampakkan rasa ketidaksukaan sama kamu yang bukan orang Poland asli."
He? Saya bengong... Memikirkan bahwa semua teman-teman saya disini adalah fake friends rasanya seperti mustahil.
Saya juga bersyukur bahwa saya ngga bisa bahasa Polandia. Jadi saya tidak perlu mendengar apa yang orang Poland bicarakan tentang saya. Memang sih di supermarket, di jalan, di tram, saya sering banget lihat orang yang ngobrol sambil lirik-lirik. Saya sih woles aja, ngga ngerti ini.

Intinya apa? Di dunia ini masih ada orang baik. Sejak awal saya berangkat ke sini saya selalu berdoa semoga dipertemukan dengan orang baik. Saya ngga peduli mereka itu sebenernya seperti apa, yang jelas di mata saya mereka orang baik. Titik. Kecuali mereka bilang langsung sama saya kalau sebenernya mereka itu bukan orang baik. :D

Baiklah, nampaknya mulai ngelantur, mari tidur...