Sabtu, 01 Februari 2014

Karena CINTA

Iqomat sudah dikumandangkan. Ada rasa sesal dalam hati karena datang ke masjid terlambat. Tapi ya bagaimana lagi memang sudah begitu jalannya (baca kenapa saya bisa terlambat disini). Terburu-buru kami masuk masjid dan segera menuju ke ruang akhwat. Sudah banyak sister disana, mereka bersiap-siap untuk sholat. Shafnya ternyata kepanjangan, saya pindah ke belakang bersama seorang sister yang belum pernah ditemui sebelumnya. Tak ada waktu untuk berkenalan, fokus sholat.

Di shaf belakang, hanya saya dan sister berkerudung biru tadi. Sepanjang waktu sholat saya merasa dia seperti yang gelisah. Kakinya dihentak-hentak, badannya goyang-goyang. Saya jadi kurang fokus saat itu. Saat masuk ke gerakan sujud dan semua gerakan sholat lainnya, saya mulai merasa ada keganjilan. Dia memperhatikan gerakkan saya sebelum dia melakukannya. Waduuuh, beneran ngga bisa konsen ini.

Setelah salam dia langsung pindah ke ruangan ikhwan. Kemudian diumumkanlah bahwasanya ada seorang sister yang hari ini mengucap syahadat. Itu adalah sister yang berada di sebelah saya tadi! Pantesan dia seperti yang masih belajar gerakan sholat. Mashaa Allah.. *merinding

Saat itu semua sister berkumpul di kelas dan saling berdiskusi. Kebetulan banyak sister baru disana, jadi diskusinya tambah seru. Dari mulai bagaimana mereka menemukan Islam, sampai persoalan umat Islam di Tunisia, Mesir, Turki, dsb. 

"Mungkin ngga sih ada orang Islam yang dia keluar dari agamanya? Kalau ada biasanya karena apa?" tanya seorang sister
"Banyak juga lho" jawab saya
"Wah beneran? Kok bisa? Di Indonesia ada yang keluar dari Islam?" tanya seorang sister yang lain
Saya ketawa, "Ada lho. Yang paling baru ada berita seorang artis yang keluar dari Islam gara-gara mau nikah sama kekasihnya yang beda agama"
"What? It is impossible. Dia percaya dari satu Tuhan ke tiga??" Mereka kaget
"Ya  begitulah, alasan utamanya bukan karena Tuhan tapi ya karena cinta tadi" ujar saya
"Whoa that's creepy!" 
Saya cuma tersenyum. Ya, saya malu mengatakan bahwa selain karena cinta tadi, ada pula yang keluar agama karena se-dus mie instan, atau persoalan ekonomi.

Memang persoalan di setiap negara tak lepas dari persoalan sistem yang diterapkan. Termasuk dalam urusan melindungi akidah. Ternyata masih banyak pekerjaan rumah di Indonesia. Tetep semangat!

Beruntung atau buntung?

Pernah ngga sih ngerasa kadang-kadang kemujuran itu ngga berpihak kepada kita? Bagi saya beruntung atau tidak beruntung itu relatif. Jika kita terbiasa berpikiran positif, bahkan hal yang paling menyakitkan pun masih bisa ditanggapi dengan woles.
*pembukaan selesai, masuk ke cerita inti.

Waktu di Rancaekek dulu, saya ini adalah pelanggan setia kereta api. Meski hitam, meski bau, meski kotor, tapi karena cinta (baca: ngga ada pilihan lagi) akhirnya saya naik kereta selama enam tahun terakhir. Kereta di Indonesia itu jam datengnya kayak jelangkung, ngga bisa diprediksi. Walhasil selama enam tahun itu hidup saya dihiasi dengan cerita-cerita bersama si hitam kereta api. Dan yang paling banyak adalah cerita tentang; Menunggu.

Kadang kalau lagi males, saya suka lama kalau mau siap-siap ke kampus. Dalam pikiran; Ah, paling nanti keretanya telat lagi. Saya berangkat ke stasiun deket-deket jam keberangkatan. Ternyata eh ternyata ketika sampai Stasiun saya harus menahan perih dan luka (lebay) saat melihat gerbong kereta berjalan mengular di depan saya. Oh kereta, setidaknya jika kau ingin meninggalkanku, jangan biarkan aku melihatmu pergi...

Kadang kalau lagi rajin (ini beneran kadang-kadang), saya suka berangkat pagi-pagi. Ngga boleh terlambat! Nanti ketinggalan kereta, rusaklah semua rencana saya seharian. Akhirnya dengan semangat 45 saya berangkat ke stasiun setengah jam lebih awal. Ternyata eh ternyata, keretanya mogok lah, keretanya telat lah, dan pada akhirnya saya pun menunggu lagi.

Ya begitulah, selama saya naik kereta saya sering sekali menunggu. Baik itu menunggu kereta yang telat, atau menunggu kereta berikutnya karena saya yang telat. Ckckck... Hidup seperti ini membuat saya jadi kebanyakan bikin alesan. Dan yang paling menjadi kambing hitam adalah: Keretanya telat. Meskipun memang selalu berhasil. Dosen pada baik kalau di kampus karena tau saya ini orang gunung. :D

Sekarang situasinya beda, saya hidup di negara yang transportasinya relatif lebih disiplin (relatif lho ya, kalau dibandingin Indonesia ya iya, tapi kalau dibandingin Jepang masih kalah *temen Jepang yang bilang). Disini saya terbiasa menggunakan tram atau bus sebagai transportasi utama. Karena tram datang selalu tepat waktu maka secara tidak langsung mengajari saya berperilaku disiplin terhadap waktu, teliti dan jujur.

Lho kok teliti dan jujur?

Disini dan di beberapa negara eropa lainnya, kita membeli tiket di mesin khusus. Setelah membeli tiket, kita perlu memvalidasi di dalam tram untuk menunjukkan waktu pemakaian pertama. Ada yang 30 menit, 1 jam, 1 hari, 1 minggu, dsb. Awal-awal saya di Poland, saya suka aneh, kok ngga ada yang meriksa tiket ya? Apa negara ini sudah sedemikian kaya? Kalaupun ngga beli tiket ngga akan ketahuan (tapi saya selalu beli tiket lho, suer!). Intinya sistem disini melatih kita untuk jujur. Karena ribet kalau harus beli tiket tiap kali naik tram, akhirnya saya menggunakan urban card. Sistemnya langganan bulanan (bisa semau kita lho berapa bulan yang diinginkan). Ini asyik banget, harganya jauh lebih murah dan sebagai student saya happy terus karena didiskon setengah harga. (Kereta di Indonesia tega banget, student bayar sama dengan karyawan). 

Nah, saya dan teman sekamar saya menggunakan urban card untuk jangka waktu 2 bulan. Saya harus teliti kapan tanggal terakhir habis dan segera membeli tiket untuk waktu berikutnya. 
Jum'at kemarin saya pun berangkat dengan teman sekamar ke masjid untuk menimba ilmu. Di dalam bus ada bapak-bapak yang mengecek tiket kita. Glek! Saya deg deg plas takut tiketnya kadaluarsa. Namun ternyata saya selamat, alhamdulillah...

Sekarang giliran temen sekamar saya, bapak-bapak itu terdiam saat melihat keterangan di mesin. Berkata sesuatu padanya dalam bahasa Polandia. Temen saya geleng-geleng ngga ngerti, saya berbisik "Mungkin tiketmu kadaluarsa"

Ternyata benar! Urban card-nya sudah berakhir masa berlakunya. Dan tahukah kamu berapa lama masa kadaluarsanya? 2 jam! Ya, tiketnya kadaluarsa hanya dua jam yang lalu. Bapak-bapak itu kemudian menuliskan sesuatu, menanyakan nama, wah saya ikut panik juga. 

Pada akhirnya dia harus membayar denda sekitar 500ribu karena tiketnya kadaluarsa. Tidak ada alasan apapun, meski hanya semenit jika sudah kadaluarsa ya harus bayar denda. Hiks..

Sepanjang perjalanan kedua dia manyun, "Kenapa oh kenapa? Selama dua bulan saya menggunakan kartu ini, ngga pernah ada yang ngecek tiket. Sekarang, hanya dua jam dia habis masa berlaku, mereka datang kepadaku" 

Saya nyengir, ya begitulah hidup.
Kami kemudian bermain Happy Game. Intinya, kita harus menemukan alasan yang membuat kita happy saat ada kejadian buruk menimpa kita. 
"Saya tahu! Alhamdulillah kamu di denda di Polandia, coba kalau kamu ada di Austria. Ngga beli tiket dendanya 150 euro (2juta-an)." ujar saya
Dia mulai tersenyum.
"Kau tau sobat, masalah beruntung atau buntung itu masalah perspektif. Intinya kenyataannya tidak berubah, namun kita bisa menyikapinya dengan penyikapan yang berbeda. Ambil positifnya saja, setidaknya 500ribu adalah harga yang harus dibayar untuk belajar tentang ketelitian"

Dan tram pun melaju.