Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh…
Surat ini kuberikan kepadamu dengan iringan rasa rindu yang mendalam untuk
bersamamu kembali di jalan dakwah.
Dulu, saat pertama kali saya bergabung di barisan dakwah ini, saya
mendapatkan amanah untuk memegang sebuah kelompok kecil. Salah satunya ada
seorang ukhtiy yang murah senyum dan hatinya bersih. Saat itu saya masih harus
banyak belajar untuk mengelola sebuah kelompok. Namun, dengan semangatnya dia
memberikan kepercayaan penuh kepada saya untuk menjadi musyrifahnya. Dia
menjalankan rencana dakwah yang kami susun bersama dengan semangat. Dia adik
kelas saya waktu SMA. Pernah suatu ketika saat dia belum mengkaji Islam, saya
pernah melukai hatinya secara tidak sengaja. Tapi saat kami kembali
dipertemukan dalam kelompok ini, dia sama sekali tidak mengungkitnya dan tetap
tsiqah kepada saya.
Saat itu saya masih belum tau dimana tempat tinggalnya, sampai suatu ketika
kami berencana untuk membuka lahan dakwah di tempatnya. Subhanallah sekali
ternyata tempat tinggalnya sangat jauh dari tempat kami biasa halqah. Sedangkan
setiap minggunya kami halqah pagi-pagi sekali. Namun sekali pun dia tidak
pernah datang terlambat. Dengan semangat dia membuka lahan bersama kami di
masjid dekat rumahnya. Kami membuka kajian mingguan yang bernama Fortuna (Forum
Studi An-Nisa).
Dia adalah inspirasi saya untuk terus menjadi musyrifah yang lebih baik.
Dia tidak pernah melihat kekurangan saya, dia selalu percaya terhadap apa yang
saya sampaikan. Dia selalu menyampaikan mimpi-mimpinya untuk menjadi pengemban
dakwah sampai akhir hidupnya. Seringkali dia mengungkapkan betapa bersyukurnya
ia bergabung di jalan dakwah ini.
Saya melihat potensinya yang sangat besar, kemudian saya mendorongnya untuk
mutasi dakwah ke kampusnya. Berat hati ini untuk melepaskan partner dakwah yang
selama ini mengajak saya untuk melesat bersamanya dalam dakwah. Namun saya juga
tidak ingin menjadi udara yang menghambat terbangnya. Dia bisa lebih optimal
lagi dengan dakwah di kampusnya. Dengan orang-orang dan lingkungan yang lebih
baik dari yang sekarang. Saya kemudian merelakannya untuk mutasi....
Kami tetap berkomunikasi dengan baik, seringkali kami bertemu saat
acara-acara besar dakwah. Saat itu saya memeluknya erat, bangga dengan dia yang
sekarang. Jauh lebih baik, jauh lebih sholehah, jauh lebih militan dari yang
sebelumnya. Dia tetap dia yang sederhana dan rendah hati. Saya selalu melihat
senyum di wajahnya, senyum yang sampai sekarang tak pernah lepas dari ingatan
saya....
Sampai suatu hari...
Allah lebih sayang kepadanya. Dia memanggilnya terlebih dahulu dalam sebuah
kecelakaan lalu lintas. Lutut ini terasa lemas dan saya tak percaya. Saat itu
saya mendapatkan kabar via sms dan setelah membaca sms, handphone saya mati.
Saya tak bisa mengecek kebenaran beritanya, karena itu saya bergegas ke tempat
tinggalnya saat turun dari kereta. Perasaan ini terasa campur aduk, saya tidak
bisa berpikir, saya hanya berdoa semoga semua ini tidak benar. Semoga ini hanya
sms iseng, semoga dia selamat...
Saat berjalan ke rumahnya saya melihat kumpulan orang. Ternyata benar, dia
sudah tiada. Jenazahnya sedang dalam perjalanan.
Saya melihatnya sudah terbujur kaku. Saya melihat sekali lagi wajahnya yang
teduh dan menenangkan. Baru kali ini saya melihatnya tidak tersenyum. Namun
wajahnya tetap bercahaya.
Saat di rumahnya terbayang kembali saat pertama kali saya berada di rumah
ini untuk membuka lahan dakwah. Saya melihat masjid di belakang rumahnya tempat
kami mengadakan kajian Islam dulu. Saya melihat kembali matahari terbenam di
gunung dekat rumahnya. Seperti yang saya lihat dulu. Hati ini gerimis, saya
bahkan belum menyampaikan betapa saya mencintainya karena Allah...
Malamnya hati ini benar-benar diliputi rasa rindu. Terbayang semua kenangan
yang pernah dilalui bersama. Terbayang senyumnya, semangatnya yang tak pernah
luntur.
Saya cek kembali sms-sms darinya barangkali masih ada yang tersimpan.
Nihil. Saya mencoba menghubunginya meski saya tahu itu perbuatan bodoh. Ya
Allah, saya rindu suaranya, saya rindu dengan sapaannya, senyumnya, saya rindu
berbagi cerita dengannya....
Ya Allah, saya hanya bisa mengirimkan doa untuknya agar Engkau bisa
menempatkannya di sebaik-baiknya tempat kembali. Berharap agar Engkau mau
mempertemukan kami kembali di syurga-Nya.
Lalu kemudian saya menemukan seseorang yang sangat mirip dengannya.
Pertama kali kami bertemu, dia mengungkapkan keinginannya untuk mengkaji
Islam. Saat itu dia menjadi TU sebuah SMK yang jam kerjanya sangat padat. Meski
kami harus mengkaji Islam jam 4 sore di masjid sekolahnya sampai matahari
terbenam, namun dia tidak pernah terlihat lelah atau mengeluh. Perubahannya
terlihat sangat signifikan. Dia sangat taat kepada hukum syara’.
Suatu saat, beberapa minggu setelah kajian berlangsung, kami berencana
untuk mengadakan kajian di Masjid Agung Rancaekek di waktu sore sesuai waktu
pulang kerjanya. Kami pindah tempat, karena saat itu ada penambahan anggota
kelompok baru.
Sorenya langit terlihat sangat gelap. Petir menyambar dan hujan turun
dengan sangat derasnya. Tempat tinggalnya adalah kawasan yang sangat sering
terkena banjir. Saya mulai ragu mereka datang, namun saya tetap datang ke
tempat kajian. Bagi saya, datang ke tempat kajian jauh lebih mudah karena
banyak angkot dan saya masih bebas banjir.
Luar biasa, ketika saya datang mereka semua hadir tanpa terkecuali dirinya.
Hati ini kagum dan haru. Dia dan sahabatnya yang rumahnya berdekatan terlihat
basah kuyup di bagian bawah jilbabnya. Saya bertanya, bagaimana cara mereka
datang ke tempat ini dengan kondisi banjir. Mereka menjawab bahwa mereka tidak
mungkin menaikkan jilbabnya karena khawatir tersingkap auratnya. Karena itu
mereka membiarkan bagian bawah jilbab mereka serta kaus kakinya basah.
Berulangkali saya mengucap tasbih dan hamdalah atas keistiqamahan mereka.
Tidak terasa hampir setahun dia belajar di jamaah dakwah ini. Ujian pun
datang kepada saya. Ada sebuah berita tidak benar tentang saya yang sampai
kepada adik-adik yang saya pegang. Beberapa diantara mereka yang kehilangan
kepercayaan kepada saya. Saat itu saya sedih luar biasa, setiap malam saya menangis
mengingat saya sangat sayang kepada mereka.
Dalam sebuah kesempatan saya bertemu dengannya. Dia tetap tersenyum kepada
saya. Saya menggenggam tangannya, dia tetap tersenyum dan berkata;
”Teteh, beberapa orang mungkin bisa dengan mudahnya melupakan
kebaikan-kebaikan orang lain dengan hanya mendengar satu berita negatif. Tapi
saya tidak teh, saya percaya sama teteh. Saya tidak pernah melihat dengan mata
kepala saya kalau teteh pernah seperti itu. Teteh yang semangat ya...”
Saat itu saya mengingat sahabat saya yang telah tiada. Dia benar-benar
mirip dengannya. Saya berterima kasih untuk kepercayaan dan semangatnya.
Saat perhalaqahan, dia selalu datang lebih awal dengan sepedanya. Dia tidak
pernah sekalipun mengeluh dengan jarak dari rumahnya ke tempat halqah. Dia
hampir tidak pernah absen halqah. Pernah suatu ketika kami mengontak sebuah SMK
yang letaknya sangat jauh. Dia datang kesana dari tempat kerjanya dengan
menggunakan sepeda! Bayangkan dengan angkot saja perjalanan lumayan menghabiskan
waktu. Sampai di SMK wajahnya merah sekali, namun sekali lagi dia tetap
tersenyum. Meski pada akhirnya hanya satu orang yang berhasil dia kontak namun
dia tetap tersenyum. Dia benar-benar mirip dengan sahabat yang lebih dulu
meninggalkan saya.
Dia adalah sosok yang menginspirasi
saya. Dengan
keterbatasannya tak pernah sekalipun saya mendengarnya mengeluh. Sosok yang
polos dan lugu namun dibalik itu semua dia juga cerdas. Saya sangat
menginginkan dia kuliah meski pada akhirnya dia memilih untuk bekerja. Saya
tidak mempermasalahkan selama dia masih tetap berada dalam barisan dakwah ini.
***
Saya mencintainya karena Allah. Saya tidak mau kehilangan dia dalam barisan
dakwah ini. Saya akan berusaha sampai Allah mengizinkannya untuk kembali
kesini. Saya ingin kami semua dikumpulkan di syurga-Nya kelak.
Sore tadi saya mendengar suaranya. Suara yang saya rindukan karena sejak
tiga minggu ini kami tidak bertemu.
Saya ingat betapa frustasinya saya ketika menelfon sahabat saya yang sudah
dipanggil oleh-Nya. Tidak pernah tersambung namun saya tetap berusaha untuk
menghubunginya seperti kurang waras. Saya hanya ingin menyampaikan satu hal,
bahwa saya sangat mencintainya karena Allah...
Berbeda dengan kondisi sekarang, karena dia masih bisa mengangkat telefonnya.
Saya masih bisa mendengar suaranya. Saya masih bisa berkomunikasi dengannya.
Karena itu saya tidak akan menyerah sampai dia bisa kembali ke jalan ini. Saya
merindukannya, merindukan kembali dirinya di tengah-tengah para pengemban
dakwah yang lain.
Sahabatku, aku mencintaimu karena Allah, karena itu kembalilah kesini...
Aku merindukanmu...
Penghujung tahun 2012
Sahabatmu yang merindukanmu
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabaratuh