Apa yang Anda bisa banggakan dari Indonesia?
Begitu pertanyaan dosen saya saat selesai kuis dadakan. Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Tidak ada pula yang akan menyangka akan ada pertanyaan seperti itu. Ya, terlalu banyak bahkan sangat banyak perbaikan yang harus dilakukan oleh bangsa ini. Perbaikan yang hampir menyentuh semua lini. Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, keamanan, bisa dikatakan secara keseluruhan masih memprihatinkan. Politik semakin oportunistik, sosial semakin individualistik, pendidikan semakin materialistik, ekonomi semakin kapitalistik.
Lima menit berlalu tak ada yang dapat menjawab. Saya akhirnya bercanda dengan teman sebelah, ’Indonesia perlu bangga karena ada film Habibie Ainun’ ujar teman sebelah. Saya tak mau kalah, Indonesia perlu bangga karena otaknya masih asli. J (just kidding :P). Kami cekikikan.
Nah, pertanyaan berlanjut kepada sistem pendidikan. Wah, ini sudah menyangkut pekerjaan, batin saya. Karena dosen saya sudah tahu tempat saya mengajar, beliau kemudian mengajak saya berpikir ulang tentang tempat mengabdi dan mengamalkan ilmu. Daripada mengajar di sekolah yang inputnya sudah bagus dari sisi ekonomi dan kecerdasan, lebih baik mengajar di sekolah yang masih memiliki keterbatasan. Sehingga kita akan membantu mereka lebih banyak.
Nah nah nah... ini kemudian yang menjadi bahan pikiran saya seharian. Bukan sengaja berpikir, namun karena dalam perjalanan pulang saya kena macet dan akhirnya ketinggalan kereta. Akhirnya saya jadi punya banyak waktu untuk berpikir.
Saya menyadari bahwa sistem pendidikan Indonesia ini masih perlu banyak perbaikan. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Ing. Fahmi Amhar;
... di negeri ini ada ribuan sekolah dan jutaan siswa. Mereka menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Mereka melakukan banyak hal kecuali belajar. Mereka mendapatkan banyak hal kecuali ilmu!
Ironis memang. Namun itu adalah kenyataan pahit yang harus kita terima, yang perlu di follow up dengan merubah. Seperti yang selalu dosen saya lakukan, mengajak kami berpikir untuk sadar akan realita yang buruk, kemudian menjadi bagian dari solusi.
Sekolah saat ini sudah menjadi komoditas para kapitalis. Hanya ada dua jenis siswa yang dapat mengenyam pendidikan bermutu dengan fasilitas yang super lengkap. Pertama adalah siswa yang orang tuanya kaya (terlepas apakah dia pandai atau tidak), kedua adalah siswa yang kurang mampu namun berotak cerdas yang dapat menikmati pendidikan dengan beasiswa. Tipe siswa kedua ini dijadikan investasi pada beberapa sekolah untuk mengharumkan almamaternya.
Bagaimana kemudian nasib siswa yang kurang mampu namun juga kurang cerdas? Mereka menumpuk di sekolah swasta atau negeri yang fasilitasnya sangat kurang. Tenaga pendidiknya jarang. Padahal bisa jadi dia kurang cerdas karena kurang gizi, kurang gizi karena ekonominya lemah, ekonominya lemah karena dia kurang cerdas. Pada akhirnya mereka berputar pada lingkaran setan. Harus ada yang berjuang untuk memutus lingkaran setan ini. Siapa? Guru kah?
Pertanyaannya kemudian, jika kita seorang guru, maka sekolah mana yang seharusnya dipilih?
Idealnya untuk merubah memang seharusnya kita memilih untuk mengabdi di sekolah-sekolah yang fasilitasnya kurang. Mereka yang membutuhkan bantuan kita. Namun apakah sampai sini masalah selesai? Belum ternyata.
Sekolah pertama tempat saya mengajar adalah sekolah dengan nama yang sama dengan sekolahnya ’Ikal’ dalam tetralogi laskar pelangi. Fasilitasnya, muridnya, semuanya mirip meski tidak separah sekolahnya ikal asli. Saat saya menulis, papan tulisnya berlubang dengan diameter 10 cm dan cukup mengganggu karena berada agak ditengah. Ketika saya bertanya darimana asal lubang itu, mereka menjawab hasil perkelahian siswa.
Besar harapan saya untuk bisa menjadi seperti bu Muslimah, gurunya ikal (Andrea Hirata). Sosok guru yang sabar dalam mendidik anak-anaknya menuju gerbang kesuksesan. Saya punya tekad yang kuat untuk minimal membuat mereka melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Saat itu saya mengajar anak kelas 12 yang akan menghadapi UN. Saat saya mengajar Fisika, waktu UN tinggal 4 bulan lagi. Itu adalah kali pertama mereka belajar Fisika lagi pada semester dua kelas 12. Guru Fisika mereka tidak pernah masuk kelas.
Murid-murid saya sangat semangat belajar mengejar ketertinggalan. Beberapa diantara mereka bahkan cerdas. Ada dua atau tiga siswa yang saya datangi untuk berdiskusi tentang masa depan kuliah mereka. Beberapa diantaranya optimis. Saya memberikan beberapa informasi penting tentang beasiswa dari universitas terdekat. Itu adalah saat terakhir saya bertemu dengan mereka sebagai guru dan murid. Karena beberapa bulan setelah UN, saya diberhentikan karena saat itu saya masih kuliah. Tidak masalah, saya mendapatkan pengalaman yang berharga, saya masih berharap agar mereka mau memikirkan kuliahnya.
Setahun berlalu. Saya bertemu dengan siswa paling cerdas di kelas saya. Dia meminta maaf karena dia tidak bisa meneruskan ke perguruan tinggi. Saat itu posisinya sebagai tulang punggung keluarga. Akhirnya dia bekerja menjadi buruh pabrik. Dia bercerita bahwa tidak ada teman-temannya yang kuliah. Saya kecewa. Sepertinya harapan saya terlalu tinggi.
Saya juga pernah mengajar di sebuah SMK yang konon kabarnya muridnya banyak yang merupakan anggota geng motor. Saya aktif di sebuah gerakan yang salah satu sarana geraknya melakukan pembinaan ke sekolah-sekolah. Saat memberikan penawaran kepada sekolah itulah, kemudian kepala sekolahnya menantang saya untuk mengajar disana.
”Kalau teteh mau berdakwah, daftar jadi guru disini. Lihat seperti apa murid-murid kami. Saya akan sangat terbantu jika teteh mau berdakwah sambil mengajar.”
Tawaran beliau saya terima.
Saya masuk sebuah kelas otomotif yang muridnya semuanya laki-laki. Dari daftar hadir, saya melihat jumlah siswa 53 orang, namun saat bel berbunyi hanya ada lima orang di dalam kelas. Artinya masih ada 48 siswa lagi yang belum hadir. Iseng-iseng saya bertanya apa cita-cita mereka. Seorang menjawab ingin menjadi pemain bola, seorang menjawab ingin bertanding dengan AC Milan yang disambut gelak tawa cemoohan teman-temannya. Sisanya terdiam agak lama sebelum menjawab mereka tidak tahu cita-citanya apa. Setengah jam kemudian tak disangka sebagian besar siswanya datang, dengan mulut bau rokok, baju seragam kumal dan acak-acakan, serta tentu tidak sedikitpun memberi salam kepada saya. Langsung masuk dan duduk ke dalam kelas.
Saya saat itu tidak langsung mengajar, saya menulis besar-besar di papan tulis beberapa tokoh dunia. Muhammad saw, Albert Einstein, Al-Khawarizmi, Mark Zuckenberg (mohon maaf atas kesalahan penulisan nama dan gelar J), Bill Gates. Bisa ditebak mereka hanya tahu nabi Muhammad saw (syukurlah setidaknya mereka ingat nabinya), sisanya nggak kenal. Selama satu jam saya berbicara panjang lebar tentang motivasi hidup, berkarya, merubah. Mungkin itu terlalu tinggi bagi mereka, akhirnya kelas ribut dan suara saya habis karena bercerita dengan berteriak-teriak.
Saya sedih mendengar salah seorang guru yang berbicara kepada saya, ”siswa di sekolah ini tidak ada harapan. Kita di sekolah mendidik mereka tak lebih hanya beberapa jam, berikutnya mereka masuk ke dalam lingkungan keluarga dan pergaulan yang tidak sehat. Apa yang kita ajari, tidak akan berbekas”
Di sekolah mereka tidak belajar apa-apa, pergaulan mereka sarat dengan kekerasan dan mereka juga dilingkupi oleh kemiskinan. Tidak bisa bayar uang sekolah, akhirnya jarang masuk kelas.
Satu bulan berikutnya saya resign karena kuliah. Untuk 12 jam mengajar seminggu, 48 jam sebulan, gaji saya adalah seratus ribu rupiah. Bukan, saya tidak bermaksud mengeluh dengan gaji yang kecil. Namun saya memikirkan bagaimana nasib guru disana yang punya tanggungan keluarga dan dibayar dengan rendah seperti itu. Tak heran banyak guru jarang mengajar, jarang masuk. Mungkin mereka harus mencari pemasukan lain selain mengajar. Saat itu saya juga sempat mengajar siswa kelas 12. Saya sudah bisa menebak mayoritas pilihan mereka selepas lulus. Jadi saya tidak bertanya.
Bagaimana dengan sekarang?
Saya mengajar di sebuah sekolah dengan fasilitas yang sangat lengkap. Dengan aula sekaligus ruang makan, klinik, perpustakaan, laboratorium komputer, laboratorium fisika, kimia, biologi, kelas dengan jumlah siswa terbatas, full AC dan speaker aktif. Bisa ditebak ini adalah sekolah dengan dua tipe siswa yang sudah saya sebutkan di atas. Siswa dengan orang tua yang berada (dengan kecerdasan di atas rata-rata dan rata-rata), ada pula beberapa siswa cerdas yang mendapatkan beasiswa karena prestasinya dalam olimpiade.
Mengapa pada akhirnya saya memutuskan untuk mengajar di sekolah seperti ini?
Proses kesadaran paling dalam adalah dengan mengalami, memikirkan dan merenungkan. Saya sangat menyadari bahwa perubahan harus dilakukan bukan dengan memberbaiki persoalan cabangnya saja. Namun perubahan harus dilakukan dalam tataran sistemik, karena masing-masing persoalan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Karena itu perubahan yang dilakukan tidak bisa secara parsial (cabang) namun harus kompherensif (menyeluruh). Dengan kata lain mengubah sistem.
Akhirnya saya menyadari, proses perubahan tidak bisa dilakukan dengan mengajar di sekolah. Karena apa yang kita ajarkan tidak bisa mentransformasi siswa menjadi sebuah pribadi baru. Proses perubahan perilaku berkorelasi dengan perubahan pemikiran dan perubahan pemikiran dapat dilakukan dengan proses pembinaan dengan mekanisme khusus (halqah atau liqa').
Bagi saya, mengajar adalah ibadah, karena itu saya akan mencari tempat terbaik untuk beribadah. Saya akan mencari tempat yang membuat saya bisa berkontribusi dengan maksimal serta membuat saya lebih baik.
Jika melihat input dari siswa di sekolah tempat saya mengajar sekarang, saya melihat bahwa mereka adalah calon generasi yang paling mungkin untuk diharapkan menjadi generasi PENGGANTI (bukan generasi penerus, jangan meneruskan keburukan yang ada). Mereka berasal dari latar belakang keluarga yang mapan, karena itu mudah bagi mereka untuk mendapatkan akses pendidikan. Sebagian besar siswa disini mampu melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Sangat mungkin diantara mereka kelak akan ada yang menjadi dokter, pemimpin rakyat, pengusaha yang memiliki banyak karyawan atau orang-orang yang memegang peranan penting nantinya di negeri ini.
Karena itulah saya mengajar di sekolah ini. Ketika saya mengajar Fisika, saya berusaha untuk tidak hanya mengajari mereka Fisika. Namun juga mendidik mereka untuk menjadi orang cerdas yang bertanggung jawab. Banyak nasihat-nasihat dari dosen-dosen saya yang saya sampaikan kembali kepada siswa saya. Karena mereka juga banyak menginspirasi saya. Saya menyampaikan kembali apa yang guru-guru saya ajarkan kepada saya tentang tujuan hidup. Mengingatkan tentang pentingnya berusaha keras, pentingnya peduli terhadap persoalan sekitar dan tidak bersikap individualis. Mengingatkan mereka untuk menjadi bagian dari solusi. Mengingatkan mereka tentang adanya hari akhir agar tidak membuat mereka sombong dengan kondisi yang ada. Ya, saya ingin meluruskan generasi pengganti ini.
Pertama kalinya saya bertemu kembali dengan siswa saya tahun kemarin, diantara mereka ada yang kuliah di kedokteran sampai ke Jerman, kuliah di Turki, kuliah kedokteran dan hukum di Indonesia. Saya sangat berharap kepada mereka untuk bisa menjadi aset bagi dunia kelak.
Saya tidak memandang sebelah mata bagi para guru yang mengajar di sekolah terpencil. Bahkan saya sangat kagum kepada perjuangan mereka yang sampai merenggut jiwa (salah satu pengajar di sekolah SM3T yang meninggal adalah adik tingkat saya). Saya juga mendengar banyak sekali kisah sekolah-sekolah di daerah terpencil dari kakak saya yang juga mantan pengajar muda program indonesia mengajar.
***
Kesimpulannya, apapun profesi kita, dimanapun kita beraktivitas, dengan siapa kita berinteraksi sehari-hari, kita harus memberikan kontribusi sebesar-besarnya untuk perubahan. Itu yang selalu ditekankan oleh guru-guru saya.
Saya merindukan sebuah kondisi dimana akses ilmu pengetahuan sama mudahnya dengan bernafas. Saya merindukan ketika setiap orang berlomba-lomba untuk mencari ilmu dengan dorongan:
”Setiap muslim, laki-laki maupun perempuan hukumnya fardhu mencari ilmu”.
”Kejarlah ilmu sampai ke liang lahat”
”Barangsiapa mencari ilmu, dia sedang mencari Tuhannya”
”Mempelajari ilmu bernilai seperti puasa, mengajarkan ilmu bernilai seperti shalat, barangsiapa mati dalam perjalanan mencari ilmu, dia seperti mati syahid dalam jihad fi sabilillah”
”Kejarlah ilmu dari sumber manapun”
Dengan motivasi ini umat Islam mencapai kejayaannya dalam IPTEK pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Dia memerintahkan untuk mendatangkan para pakar segala bahasa ke Istananya. Mereka bekerja dibawah koordinasi Yahya bin Masawih menerjemahkan segala buku ilmiah yang bisa diperloleh dari manapun saat itu. Untuk memperbanyak tim penerjemahan Khalifah al-Makmun mendirikan akademi penerjemahan. Tanpa pekerjaan mereka, dunia kita sekarang tidak akan megenal buku anatomi dari Galens; buku mekanika dan matematika dari Heron, Philo dan Menelaos; buku Astronomi dari Ptolomeus; buku Geometri dari Euklides; buku tentang irisan kerucut dari Appolonius; buku tentang kesetimbangan di air dari Archimides dan lainnya (Amhar, 2011).
Dalam Islam, sebelum menguasai ilmu pasti (IPTEKS), di sekolah dasar mereka dibekali dulu dengan akidah yang kokoh. Mereka mencari ilmu untuk memberikan kontribusi sebesar-besarnya pada kemudahan ibadah dan penyebaran cahaya Islam. Belajar menjadi murah ketika akses ilmu dibuat mudah.
Ya, kita sedang tidak bernostalgia. Saya hanya ingin menekankan bahwa perubahan menyeluruh adalah perubahan sistemik. Dengan kata lain kita butuh revolusi untuk mengganti sistem yang rusak. Ibarat pohon, kondisi pohon yang sekarang sudah hampir mati dipenuhi oleh hama. Dibersihkan dedaunan atau rantingnya pun tidak akan membantu karena sudah rusak sampai ke akar. Yang perlu dilakukan adalah perubahan secara revolusioner. Mengganti pohonnya. Dengan sistem Islam tentunya.[]
Wallahu’alam bishowab