Sabtu, 21 Desember 2013

Tanya hatimu

Sayang, periksa hatimu kapankah dia pilu
Apa ketika bahagia singgah pada saudaramu?
Sayang, apakah bagimu mudah
Melihat saudaramu tersenyum sumringah
Sayang, tanyalah hati
Apakah masih ada setitik rasa iri dan dengki

Janganlah begitu
Bahagialah ketika saudaramu bahagia
Jangan berbahagia ketika mereka berduka
Janganlah bersedih
Janganlah bersusah hati
Ikutlah bergembira

Jikaupun kau merasa iri
Iri-lah dalam kebaikan
Karena disana tempat kita berlomba


“Engkau tidak boleh menampakkan rasa gembira atas kesusahan yang menimpa saudaramu. Bisa jadi Allah akan memberi rahmat kepadanya dan memberikan ujian kepadamu.” (HR. at-Tirmidzi)

Ternyata, aku masih ingin menjadi Penulis...

Ada perasaan yang sulit diungkapkan saat membaca tulisan ini. Ini adalah tulisan yang ditulis oleh saya hampir enam tahun yang lalu. Saat saya masih baru setahun jadi mahasiswa. Jika diingat-ingat, saya memang dulu jatuh bangun dalam menulis. Saya pernah satu semester penuh bayar SPP dari honor menulis di kolom Inspirasi Belia harian Pikiran Rakyat. Saya juga pernah frustasi karena puluhan artikel dan tulisan tak kunjung dimuat. Waktu itu saya ingin mengasah kemampuan menulis yang masih payah dengan ikut pelatihan sekolah menulis gratis yang diadakan oleh penulis ternama. Syaratnya adalah saya harus mengirimkan tulisan berisi motivasi mengapa saya ingin menjadi penulis. Dan inilah tulisan saya saat itu, 8 Mei 2008. 

Sekarang, saya ingin bergabung di Grup Belajar Nulis. Syaratnya sama, saya harus menulis mengapa saya ingin menjadi penulis. Sepertinya Fitria Muda lebih bisa menjelaskannya, karena motivasinya tak berubah sejak dulu. 

Selamat Membaca.

8 Mei 2008
Aku berasal dari sebuah keluarga dengan agama Islam yang taat. Ketika aku menginjak bangku pertamaku di SMP aku dikenalkan dengan ide-ide luhur dari ajaran Islam  yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan umat saat ini. Sejak saat itu aku berupaya untuk menyampaikan pengetahuan yang kuperoleh kepada orang-orang terdekat. Salah satu cara yang kurasa paling efektif untuk menyampaikan ide Islam adalah lewat tulisan. Sebuah tulisan dapat dibaca oleh banyak orang dan dapat dibaca berulang-ulang, sehingga apa yang kusampaikan akan lebih mengena.

Aku mulai serius menulis di kelas 3 SMP. Waktu itu aku masih menulis dengan mesin ketik yang berisik. Sebuah tulisan yang pendek saja harus kuselesaikan berhari-hari karena kemampuan mengetikku yang masih payah. Tulisan itu aku kirimkan ke mading sekolahku. Ada satu impianku yang sangat ingin kuwujudkan, aku ingin tulisanku dapat dimuat di media massa. Berulang kali aku kirimkan tulisanku ke sebuah majalah remaja Islam, dan pada akhirnya aku harus bersabar jika tulisanku berakhir di tempat sampah redaksi atau di tukang loak. Redaksi mana yang akan menerima tiga lembar tulisan yang ditulis dengan mesin ketik dengan tipe-X dimana-mana. Sedikit frustasi bagiku wajar, karena aku memang dalam tahap belajar.

Saat aku lulus dari SMP, ada sebuah kenyataan pahit yang harus kuterima. Ayahku diberhentikan dari perusahaan tempatnya bekerja. Saat itu aku benar-benar khawatir, namun ayahku ternyata tidak putus asa. Dan aku memujinya atas sebuah pilihan bijak, dia menggunakan sebagian gaji terakhirnya untuk membeli sebuah komputer. Benda yang nantinya akan menciptakan perubahan dalam hidupku. Aku semakin sering menulis dengan hadirnya komputer di rumahku. Banyak sekali yang kutulis dari mulai cerpen, artikel pendek, dan aku berencana membuat sebuah novel. Saat itu aku sudah berhasil menulis empat puluh halaman. Sayangnya, saat aku kelas 1 SMA semua tulisanku hilang karena virus ganas dari flash disk kakakku. Sejak saat itu aku mulai vakum di dunia tulis menulis.

Empat tahun kemudian mimpiku terwujud. Setelah vakum menulis selama dua tahun lebih, aku mencoba menulis kembali. Tulisanku yang pertama dimuat di harian Republika. Walaupun hanya surat pembaca dan letaknya juga di pojok kiri, tidak bergitu terlihat, namun aku senang bukan main. Apalagi guru bahasa Indonesiaku menjanjikan tambahan nilai satu akumulatif bagi siapa saja yang karyanya dimuat di media massa. Tulisanku ini sempat membuat heboh kelas karena temanya yang memang sedang hangat dibahas. “Kampanye penggunaan kondom; efektifkah?”, begitulah judulnya. Karena tulisan ini banyak teman-temanku yang mengajak diskusi tentang bahaya kampanye ini terhadap pergaulan remaja. Beberapa bulan kemudian tulisanku yang kedua dimuat kembali di harian Pikiran Rakyat rubrik belia di kolom inspirasi. Bedanya, di kolom ini ada honor yang bisa diambil. Subhanallah, saat itu aku bisa membayar uang sekolahku selama satu semester. Sejak saat itu aku mulai sering menulis, namun sepertinya aku harus banyak belajar karena tulisanku belum ada yang dimuat lagi. Belasan artikel sudah dikirimkan, namun belum ada satu tulisanpun yang dimuat di media massa.

Sekarang aku kuliah tingkat dua di UPI. Untuk meringankan beban orang tua, aku mengajar di sebuah lembaga privat di sela-sela waktu kuliahku. Walau begitu, aku tidak meninggalkan aktivitas menulisku. Aku masih sering mengirimkan tulisanku ke media massa, dan belum ada satu pun yang dimuat lagi. Tapi itu bukan masalah, karena aku yakin suatu saat redaksi akan melihat perkembangan tulisanku dari minggu ke minggu.
Aku benar-benar ingin menjadi seorang penulis. Mengikuti kursus sepertinya mustahil mengingat kuliah pun aku dan kedua orang tuaku agak kesulitan membayar. Bahkan aku sangat takut suatu saat aku harus berhenti kuliah. Saat melihat berita tentang beasiswa menulis, aku merasa sangat tertolong. Ini seperti jalan yang ditunjukkan Allah kepadaku.

Kau tahu mengapa aku benar-benar ingin menjadi seorang penulis? Motivasiku bukan materi karena menulis bukanlah aktivitas yang menjanjikan kecukupan materi. Dan jika aku menemukan jalan lain untuk mencari materi, pasti sudah sejak lama aku tinggalkan aktivitas ini. Motivasiku hanya satu. Aku ingin membangkitkan umat lewat tulisan. Aku sangat mengerti ledakan apa yang bisa dihasilkan dari sebuah tulisan. Karena sikap seseorang itu berubah sejalan dengan perubahan pemikirannya. Dan perubahan pemikiran dapat terjadi lewat sebuah tulisan.

Aku masih ingat saat O.Sholihin, penulis buku remaja best seller itu datang ke masjid depan rumahku. Saat itu kami (remaja masjid) mengundangnya untuk menjadi pembicara, dan saat berfoto aku sempat berbicara padanya. “Pak, tunggulah lima tahun lagi akan muncul seorang penulis buku yang nggak kalah dari Bapak. Itulah saya…” Pak Sholihin tersenyum dan berkata, “Lama amat, kirain dua bulan jadi. Hehehe…” Aku kembali menimpali, “Kalau gitu dua tahun aja ya Pak” (Kok kayak yang lagi tawar menawarJ). Dia mengangguk dan berjanji akan membubuhkan komentarnya jika bukuku memang selesai.
Aku yakin, aku bukannya tidak bisa menulis sehingga sampai saat ini memang baru sedikit tulisanku yang dimuat. Hanya saja aku tidak tahu teknik yang benar, dan jika dilatih aku yakin bisa. Belajar otodidak memang mungkin, tapi aku sangat butuh bimbingan. Aku tidak bisa menjanjikan apapun selain aku akan berusaha sebaik mungkin mengikuti kursus ini jika aku menjadi penerima beasiswa menulis ini.
Sahabat, jika beasiswa ini memang untukku, berarti tak lama lagi akan muncul seorang penulis yang akan melahirkan buku-buku yang membangkitkan umat. Karena itulah yang menjadi motivasiku selama ini. Oh ya, selain itu kini aku diamanahkan menjadi pembimbing akhwat di rohis SMA tempat sekolahku dulu. Mereka semua juga ingin menjadi penulis. Kau tahu kan maksudku? Aku bisa berbagi ilmu yang kuterima darimu sehingga kelak yang menjadi penulis bukan hanya satu. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua. Wassalam…

NB: Saya ngga dapet beasiswa nulisnya :P Tapi ternyata saya masih ingin menjadi penulis...

Kamis, 19 Desember 2013

Wroclaw, Poland (Gambar doang)
























Karena kita bersaudara

Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya kaum mukminin itu adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)

“Ahlan wa sahlan, sister. Just tell me if you need something, I will help you”

Nyes. Rasanya seperti ada titik-titik air saat mulai gerah pada kondisi dan lingkungan yang jauh dari Islam. Itu adalah kata-kata pertama saat saya bertemu dengan seorang sister dan brother di masjid. Entah kenapa saya sangat suka dengan sebutan brother/ sister, atau dalam bahasa arab ukhtiy dan akhi. Mereka memperlakukan saya benar-benar seperti saudara. Membuat saya merasa tidak sendiri. Saya menyukai cara mereka bersalaman dengan pipi tiga kali, kanan, kiri, dan kanan. Tidak ada sekat apapun. Kami muslim dan kami bersaudara. Titik.

Bertemu mereka saya teringat kepada saudara-saudara saya nun jauh disana. Ya saya merindukan mereka semua. Saat bersama-sama pergi halqah, mengkaji Islam, menyebarkan Islam. Saya merindukan ibu-ibu yang selalu mengelus lembut kepala saya sembari mendoakan. Saya merindukan teteh-teteh yang selalu mencari cara terbaik ketika mengingatkan saya tentang sesuatu. Adik-adik yang polos dan ceria, yang terkadang kepolosannya mengingatkan saya bahwa mereka belum banyak dosa. Serta dibalik kepolosannya mereka menyimpan banyak sekali potensi. Di jalan ini kami saling menguatkan, mengingatkan, meluruskan. Ah ya, betapa indahnya persaudaraan ini ya Allah…

Persaudaraan itu bukanya tanpa perbedaan. Adakalanya kita berbeda, namun tak boleh menjadi perkara. Saya teringat seorang sahabat saya, teman diskusi selama di kampus, kami berbeda harokah. Namun saya tak pernah ingat ada masalah diantara kami. Yang saya tahu, dia rajin tilawah, qiyamul lail, dia peduli urusan umat Islam, dia aktif mengkaji Islam, dia pun yang selalu menyemangati saya untuk terus berdakwah. Tak jarang sekali, dua kali, kita saling bertanya sesuatu untuk bertabayyun bukan men-judge. Kami saling mendukung dalam kebaikan. Ingatkah engkau wahai kawan, pernah kau berbicara kepadaku suatu hari; “Biarlah kita berjuang di jalan yang berbeda, sadarkanlah umat sebanyak-banyaknya. Kita tahu perjuangan ini tak mudah, mari kita saling melengkapi. Suatu saat jika Islam tegak dengan pertolongannya, umat telah siap dan sadar.”

Bertemu mereka saya menyadari satu hal. Bahwa persaudaraan kami sebagai seorang muslim di atas perbedaan. Jika kita mencintai seseorang karena Allah, kita akan mencari cara terbaik untuk meluruskannya. Tidaklah diri ini sedemikian suci untuk bisa mengarahkan jari menunjuk kesalahan seseorang dengan cara yang menyakiti.

“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya. Ketakwaan itu di sini -beliau menunjuk ke dadanya dan beliau mengucapkannya 3 kali-. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek akhlaknya jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” (HR. Muslim no. 2564)

Saudaraku, bolehkah aku meminta sepotong maaf darimu? Atas semua luka yang tergores baik kusadari atau tidak disadari?

Aku merindukanmu disini. Aku mencintaimu karena Allah. Semoga Allah senantiasa menjagamu dalam kebaikan dan taqwa. Aamiin

Minggu, 15 Desember 2013

Satu hal lagi yang patut disyukuri…

Sebelum berangkat kesini ada perasaan khawatir tentang siapa yang akan menjadi teman sekamar dan tetangga kamar sebelah. Saya ini kan orangnya pendiam dan pemalu (#hening). Selama sebulan penuh saya berdoa semoga saya dapat teman-teman yang baik.
Inget kan dulu saya pernah cerita tentang saya switch kamar. Nah tetangga kamar sebelah saya ini dua orang mahasiswa dari Polandia. Perempuan. Alhamdulillah, karena umumnya blok dicampur antara laki-laki dan perempuan.
Banyak cerita yang lucu dan so sweet selama saya tinggal berdekatan dengan mereka. Sebelum berangkat, saya mendapatkan informasi kalau orang Polandia itu judes kalau belum kenal. Tapi kalau misalnya kita sudah kenal, mereka baiiik banget. Masalahnya, saya ngga tau apa mereka bisa nerima saya yang begini atau engga. Trus gimana kalau nanti saya di bully? Hehehe, pokoknya banyak pikiran yang aneh-aneh. Kebanyakan nonton sinetron Indonesia tentang buli.

Alhamdulillahnya semua itu ternyata tak pernah terjadi. Meski awalnya kita berasa kagok karena bahasa, kebiasaan, tapi kita bisa saling menghormati perbedaan masing-masing. Dan kini kita semua berteman baik.
Setidaknya ada dua hal menarik yang kalau saya inget suka senyum-senyum sendiri.

Pertama adalah soal sholat. Saya bawa mukena kesini dan ternyata mukena itu ngga umum di beberapa negara lho. Temen sekamar saya yang turki aja melihat mukena dengan takjub dan terheran-heran. Apa itu? Setiap orang Indonesia pake itu kalau sholat? Terus mukena di Indonesia kan ngga cuma putih ya, ada yang warna-warni, motif bunga-bunga, pokoknya lucu-lucu. Kebetulan saya bawa mukena warna orange dengan bahan parasut yang ringan. Selama ini saya sholat ya aman-aman aja, kan Nesibe (temen sekamar) sama-sama muslim.
Nah, suatu ketika saya sholat ashar di kamar, Nesibe mau masak. Terbukalah pintu kamar. Kebetulan saat itu salah seorang temen Polandia saya lewat depan kamar. Arah kiblat itu membelakangi pintu, jadi saya terlihat membelakangi dengan seluruh tubuh tertutup mukena orange. Mungkin baru pertama kali dia lihat orang sholat plus pake mukena lagi. Dia pun melongo, apa itu?
Saya yang lagi sholat juga jadi ngga konsen. Dia penasaran kayaknya, soalnya dia manggil-manggil dari belakang.
“Hi Fitria. Hmm Fitria? Fitria? How are you?” ujarnya
Glek, saya sholat tambah ngga konsen. Alhamdulillahnya nesibe masuk dari dapur dan dia langsung menjelaskan padanya.
“Oww, she cannot answer you. She is praying now” Nesibe kemudian menjelaskan apa itu sholat, bagaimana gerakkannya, sehari kita sholat lima kali, dsb.
Selesai sholat dan berdoa, dia kembali menyapa saya. Kali ini saya bisa menyapa balik. Kami pun tertawa.

Kedua adalah masalah makanan. Bahasa Poland itu susaaaah banget. Bahkan ada lelucon, life is too short to learn Polish Language. Jadi untuk masalah masakanan, saya cari aman. Telur, susu, ayam, keju, roti, buah-buahan dan sayuran jadi menu andalan.
Suatu hari saya bosen, berbekal bahasa seadanya saya coba-coba beli ayam katsu dan beberapa cake. Pulang dari market langsung buka google translate, diterjemahin satu-satu. Hmm.. ini oke… ini ngga masalah. Dan kemudian, saya menemukan kode E472e di ayam katsu. Tepok jidat, ngga teliti saya.
Saya sudah pernah browsing tentang kode apa saja yang tidak boleh digunakan. Dan kode E472e itu termasuk yang subhat, dia ada kemungkinan dari tumbuhan atau hewan. Begitu keterangannya. Disini ngga ada keterangan apa-apa. Artinya? Ya jangan dimakan.
Awalnya saya bingung, ini bagusnya diapain ya. Dibuang sayang, soalnya lumayan mahal. Hiks.. Ceroboh… Akhirnya saya ketuk pintu kamar sebelah.
Setelah dimulai oleh pendahuluan dan latar belakang, saya masuk ke inti permasalahan.
“Kamu keberatan ngga kalau saya ngasih ini?” ujar saya
“Oh sini ngga apa-apa, uangnya kuganti ya. Kamu beli ini berapa?” tanyanya
Saya menolak tawaran dia. Kemudian dia bertanya apa yang bisa dimakan oleh seorang muslim, saya pun menjawabnya.
Alhamdulillah, problem solved, batin saya.
Besok paginya, perut keroncongan. Saya membuka kulkas dan surprise! Disana sudah ada filet dada ayam dan surat di atasnya:
To FITRIA
Ini cuma ayam. Kamu boleh mengolahnya sesukamu.
Saya terharu. So sweet.

Tulisan ini penting ngga sih? Hehehe.. Maaf ya kalau ngga penting, saya nulis untuk merefresh pikiran. Sekarang kembali lagi ke buku :)  

<photo id="1" />

Berani Malu

Suatu saat saya pernah bengong melihat seorang pria dengan tindikkan di wajahnya. Di hidung, lidah, telinga, semuanya tersebar paku-paku kecil. Di daun telinga tempat anting bahkan dipasangi cincin dengan diameter yang cukup besar. Telinganya jadi melebar gitu, kayak ketarik ke bawah. Serem sih ngelihatnya, tapi dia kayak yang enjoy aja. Merasa ngga ada beban dan ngga terganggu.
Kemudian saya jadi berfikir kayak gini.
Kalau ditanya, apakah gaya pria di atas itu normal atau engga versi orang kebanyakan, tentu jawabannya ngga normal. Tapi pria itu pede banget jalan-jalan ke luar dan mungkin merasa ganteng dengan dandanan seperti itu. Nah, terus kenapa saya yang seperti ini harus malu? *Plak, ditampar lagi.
Kalau ditanya apa style saya ini normal versi orang sini, pasti mereka semua sepakat ngga biasa. Semuanya ditutupin kecuali wajah dan telapak tangan. Alhamdulillahnya saya datang kesini pas Auntum dan Winter yang nota bene udara diluar dingin. Otomatis semua orang pasti menutup tubuhnya rapat-rapat. Jadi saya yang begini ngga akan terlalu keliatan beda. Bisa dibayangin kalau saya kesini pas summer. Suhu diatas 35 derajat masih menutup aurat, bisa dianggap gila sama orang sekitar. Tapi ya, itulah yang dilakukan oleh muslimah berhijab disini. Saya salut sama mereka.
Awal-awal disini, saya lebih suka menghindari tatapan orang dengan menunduk atau melihat ke arah lain saat ada orang yang memperhatikan. Terkadang ada yang melihat sambil tersenyum lebar. Terkadang ada yang melihat sambil berbicara sesuatu sama teman disebelahnya. Terkadang ada yang curi-curi pandang. Ya, agak-agak risih sih… Ingin rasanya mengetahui apa yang mereka pikirkan, penasaran juga. Mungkin karena ngga banyak orang asing di Polandia, makanya mereka begitu.
Untuk sholat juga saya masih agak-agak kagok. Ada satu hari dimana jadwal kuliah sangat padat sehingga saya benar-benar harus sholat di kampus. Pernah suatu ketika saya mencari tempat sholat dari lantai satu sampai lantai empat. Perpustakaan penuh, di lorong-lorong banyak mahasiswa berkumpul, di taman apalagi, kelas-kelas semuanya tertutup sehingga saya tidak tahu pasti apakah kelas itu digunakan atau tidak. Waktu sholat sangat terbatas, karena saat Winter dzuhur-isya waktunya berdekatan. Jujur, saya belum punya mental yang kuat untuk sholat di depan umum dan diliatin. Akhirnya karena tidak kunjung mendapatkan tempat sholat, saya pulang ke asrama, sholat disana meski harus terlambat masuk kelas berikutnya.
Kesempatan bertemu dengan sister asli dari Polandia yang berhijab bagi saya adalah kesempatan emas. Saya bisa tahu apa yang dihadapi mereka dengan pakaian dan kebiasaan yang berbeda dari orang kebanyakan. Saya selalu suka hari Jum’at. Karena saat Jumat saya bertemu dengan mereka, sholat berjamaah, berdiskusi, belajar bahasa Arab. Ah, benar-benar hari yang indah.
“Dalam beberapa poin sepertinya kamu beruntung karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan saat bertemu dengan mereka. Kamu ngga ngerti bahasa Polandia kan? Namun kami semua mendengar dan mengerti.” ujar seorang sister
“Apa yang mereka bicarakan terkadang terasa menyakitkan. Namun kami mengerti, mereka hanya belum mengenal Islam.”
Bagi saya yang pendatang, mungkin kebanyakan masyarakat disini tidak masalah jika melihat saya berbeda. Namun akan lain kondisinya bagi penduduk asli yang memeluk agama Islam. Mereka merasa asing di lingkungannya sendiri. Subhanallah, saya salut pada keteguhan mereka.
Ada salah seorang sister yang dia satu universitas dengan saya. Saat itu saya sangat excited untuk sharing pengalaman selama kuliah. Dia mahasiswa master juga, pake kerudung. Kalau bule pake kerudung tuh cantiknya masya Allah. Meski kalau versi mereka saya yang cantik (#uhuk).
“Sister, pake kerudung kalau ke kampus?”
“Iya, dulu saya sendirian yang pake kerudung. Alhamdulillah sekarang saya sering ketemu beberapa yang berhijab. Saya senang sekali” ujarnya
“Terus, kalau sholat gimana?”
“Sholat ya sholat aja, di taman gelar sajadah terus sholat deh. Tau kan taman deket C 13?”
Saya bengong, itu taman luas, tempat kumpul mahasiswa.
“Aslinya? Terus orang-orang pada ngeliatin?”
“Iya hihihi, tapi ya cuek aja, kita mau ibadah kok. Banyak yang berhenti terus ngeliatin, bahkan ngambil foto. Kapan-kapan kita sholat berjamaah di taman yuk, nanti kamu calling aja.”
Saya makin bengong. Kayaknya bakal seru kalau ada dua orang muslimah, beda kebangsaan, sholat bareng di taman.
Tapi saya jadi malu sama diri sendiri. Kenapa orang lain bisa berani mengambil sikap, sedangkan saya selalu merasa takut ini takut itu. Ya kadang ketakutan itu hanya di awal saja. Setelah dijalani, biasanya sebagian besar yang ditakutkan itu tidak terjadi.
Saya jadi inget pertama kali pake seragam yang disambung, pertama kali pake baju olahraga rok dan disambung pula, pertama kali ngajakin temen-temen ngaji. Ya, yang sulit itu meneguhkan niat dan bergerak di awal, seterusnya enjoy aja kok. Itu mungkin ya kenapa koefisien gesekan statis lebih besar daripada koefisien gesekan dinamis (ngga nyambuuuuung…).
Bisa jadi saya adalah muslimah pertama yang ditemui oleh orang sini. Bisa jadi mereka ingin melihat seperti apabehavior dari seorang muslim. Apakah sama dengan informasi yang datang kepada mereka lewat media atau sebaliknya? Jadi disini saya lebih hati-hati dalam bertindak, bertutur. Sekecil apapun, seperti menahan diri untuk tidak menyebrang saat lampu merah saat tidak ada mobil yang lewat sekalipun, atau ketika kebanyakan orang menerobos lampu merah.
Konsekuesi dari keimanan itu adalah taat. Taat itu setiap saat dan tak kenal tempat. Dimanapun kita diwajibkan untuk berikhtiyar agar tetap taat. Allah senantiasa memudahkan urusan hamba-Nya untuk taat. Mengingat hal itu hati saya tenang. Banyak orang yang berani tampil beda dengan cara yang aneh-aneh. Kita berbeda bukan untuk mencari perhatian, namun semata-mata untuk memenuhi seruan-Nya. Jadi ngga seharusnya kita merasa malu dan takut. Bismillah… Semangat!

Selasa, 10 Desember 2013

Mau Pintar Belajar, Mau Ijazah Sekolah

Apa yang Anda bisa banggakan dari Indonesia?
Begitu pertanyaan dosen saya saat selesai kuis dadakan. Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Tidak ada pula yang akan menyangka akan ada pertanyaan seperti itu. Ya, terlalu banyak bahkan sangat banyak perbaikan yang harus dilakukan oleh bangsa ini. Perbaikan yang hampir menyentuh semua lini. Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, keamanan, bisa dikatakan secara keseluruhan masih memprihatinkan. Politik semakin oportunistik, sosial semakin individualistik, pendidikan semakin materialistik, ekonomi semakin kapitalistik.
Lima menit berlalu tak ada yang dapat menjawab. Saya akhirnya bercanda dengan teman sebelah, ’Indonesia perlu bangga karena ada film Habibie Ainun’ ujar teman sebelah. Saya tak mau kalah, Indonesia perlu bangga karena otaknya masih asli. J  (just kidding :P). Kami cekikikan.
Nah, pertanyaan berlanjut kepada sistem pendidikan. Wah, ini sudah menyangkut pekerjaan, batin saya. Karena dosen saya sudah tahu tempat saya mengajar, beliau kemudian mengajak saya berpikir ulang tentang tempat mengabdi dan mengamalkan ilmu. Daripada mengajar di sekolah yang inputnya sudah bagus dari sisi ekonomi dan kecerdasan, lebih baik mengajar di sekolah yang masih memiliki keterbatasan. Sehingga kita akan membantu mereka lebih banyak.
Nah nah nah... ini kemudian yang menjadi bahan pikiran saya seharian. Bukan sengaja berpikir, namun karena dalam perjalanan pulang saya kena macet dan akhirnya ketinggalan kereta. Akhirnya saya jadi punya banyak waktu untuk berpikir.
Saya menyadari bahwa sistem pendidikan Indonesia ini masih perlu banyak perbaikan. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Ing. Fahmi Amhar;
... di negeri ini ada ribuan sekolah dan jutaan siswa. Mereka menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Mereka melakukan banyak hal kecuali belajar. Mereka mendapatkan banyak hal kecuali ilmu!
Ironis memang. Namun itu adalah kenyataan pahit yang harus kita terima, yang perlu di follow up dengan merubah. Seperti yang selalu dosen saya lakukan, mengajak kami berpikir untuk sadar akan realita yang buruk, kemudian menjadi bagian dari solusi. 
Sekolah saat ini sudah menjadi komoditas para kapitalis. Hanya ada dua jenis siswa yang dapat mengenyam pendidikan bermutu dengan fasilitas yang super lengkap. Pertama adalah siswa yang orang tuanya kaya (terlepas apakah dia pandai atau tidak), kedua adalah siswa yang kurang mampu namun berotak cerdas yang dapat menikmati pendidikan dengan beasiswa. Tipe siswa kedua ini dijadikan investasi pada beberapa sekolah untuk mengharumkan almamaternya.
Bagaimana kemudian nasib siswa yang kurang mampu namun juga kurang cerdas? Mereka menumpuk di sekolah swasta atau negeri yang fasilitasnya sangat kurang. Tenaga pendidiknya jarang. Padahal bisa jadi dia kurang cerdas karena kurang gizi, kurang gizi karena ekonominya lemah, ekonominya lemah karena dia kurang cerdas. Pada akhirnya mereka berputar pada lingkaran setan. Harus ada yang berjuang untuk memutus lingkaran setan ini.  Siapa? Guru kah?
Pertanyaannya kemudian, jika kita seorang guru, maka sekolah mana yang seharusnya dipilih?
Idealnya untuk merubah memang seharusnya kita memilih untuk mengabdi di sekolah-sekolah yang fasilitasnya kurang. Mereka yang membutuhkan bantuan kita. Namun apakah sampai sini masalah selesai?  Belum ternyata.
Sekolah pertama tempat saya mengajar adalah sekolah dengan nama yang sama dengan sekolahnya ’Ikal’ dalam tetralogi laskar pelangi. Fasilitasnya, muridnya, semuanya mirip meski tidak separah sekolahnya ikal asli. Saat saya menulis, papan tulisnya berlubang dengan diameter 10 cm dan cukup mengganggu karena berada agak ditengah. Ketika saya bertanya darimana asal lubang itu, mereka menjawab hasil perkelahian siswa.
Besar harapan saya untuk bisa menjadi seperti bu Muslimah, gurunya ikal (Andrea Hirata). Sosok guru yang sabar dalam mendidik anak-anaknya menuju gerbang kesuksesan. Saya punya tekad yang kuat untuk minimal membuat mereka melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Saat itu saya mengajar anak kelas 12 yang akan menghadapi UN. Saat saya mengajar Fisika, waktu UN tinggal 4 bulan lagi. Itu adalah kali pertama mereka belajar Fisika lagi pada semester dua kelas 12. Guru Fisika mereka tidak pernah masuk kelas.
Murid-murid saya sangat semangat belajar mengejar ketertinggalan. Beberapa diantara mereka bahkan cerdas. Ada dua atau tiga siswa yang saya datangi untuk berdiskusi tentang masa depan kuliah mereka. Beberapa diantaranya optimis. Saya memberikan beberapa informasi penting tentang beasiswa dari universitas terdekat. Itu adalah saat terakhir saya bertemu dengan mereka sebagai guru dan murid. Karena beberapa bulan setelah UN, saya diberhentikan karena saat itu saya masih kuliah. Tidak masalah, saya mendapatkan pengalaman yang berharga, saya masih berharap agar mereka mau memikirkan kuliahnya.
Setahun berlalu. Saya bertemu dengan siswa paling cerdas di kelas saya. Dia meminta maaf karena dia tidak bisa meneruskan ke perguruan tinggi. Saat itu posisinya sebagai tulang punggung keluarga. Akhirnya dia bekerja menjadi buruh pabrik. Dia bercerita bahwa tidak ada teman-temannya yang kuliah. Saya kecewa. Sepertinya harapan saya terlalu tinggi.
Saya juga pernah mengajar di sebuah SMK yang konon kabarnya muridnya banyak yang merupakan anggota geng motor. Saya aktif di sebuah gerakan yang salah satu sarana geraknya melakukan pembinaan ke sekolah-sekolah. Saat memberikan penawaran kepada sekolah itulah, kemudian kepala sekolahnya menantang saya untuk mengajar disana.
”Kalau teteh mau berdakwah, daftar jadi guru disini. Lihat seperti apa murid-murid kami. Saya akan sangat terbantu jika teteh mau berdakwah sambil mengajar.”
Tawaran beliau saya terima.
 Saya masuk sebuah kelas otomotif yang muridnya semuanya laki-laki. Dari daftar hadir, saya melihat jumlah siswa 53 orang, namun saat bel berbunyi hanya ada lima orang di dalam kelas. Artinya masih ada 48 siswa lagi yang belum hadir. Iseng-iseng saya bertanya apa cita-cita mereka. Seorang menjawab ingin menjadi pemain bola, seorang menjawab ingin bertanding dengan AC Milan yang disambut gelak tawa cemoohan teman-temannya. Sisanya terdiam agak lama sebelum menjawab mereka tidak tahu cita-citanya apa. Setengah jam kemudian tak disangka sebagian besar siswanya datang, dengan mulut bau rokok, baju seragam kumal dan acak-acakan, serta tentu tidak sedikitpun memberi salam kepada saya. Langsung masuk dan duduk ke dalam kelas.
Saya saat itu tidak langsung mengajar, saya menulis besar-besar di papan tulis beberapa tokoh dunia. Muhammad saw, Albert Einstein, Al-Khawarizmi, Mark Zuckenberg (mohon maaf atas kesalahan penulisan nama dan gelar J), Bill Gates. Bisa ditebak mereka hanya tahu nabi Muhammad saw (syukurlah setidaknya mereka ingat nabinya), sisanya nggak kenal. Selama satu jam saya berbicara panjang lebar tentang motivasi hidup, berkarya, merubah. Mungkin itu terlalu tinggi bagi mereka, akhirnya kelas ribut dan suara saya habis karena bercerita dengan berteriak-teriak.
Saya sedih mendengar salah seorang guru yang berbicara kepada saya, ”siswa di sekolah ini tidak ada harapan. Kita di sekolah mendidik mereka tak lebih hanya beberapa jam, berikutnya mereka masuk ke dalam lingkungan keluarga dan pergaulan yang tidak sehat. Apa yang kita ajari, tidak akan berbekas”
Di sekolah mereka tidak belajar apa-apa, pergaulan mereka sarat dengan kekerasan dan mereka juga dilingkupi oleh kemiskinan. Tidak bisa bayar uang sekolah, akhirnya jarang masuk kelas.
Satu bulan berikutnya saya resign karena kuliah. Untuk 12 jam mengajar seminggu, 48 jam sebulan, gaji saya adalah seratus ribu rupiah. Bukan, saya tidak bermaksud mengeluh dengan gaji yang kecil. Namun saya memikirkan bagaimana nasib guru disana yang punya tanggungan keluarga dan dibayar dengan rendah seperti itu. Tak heran banyak guru jarang mengajar, jarang masuk. Mungkin mereka harus mencari pemasukan lain selain mengajar. Saat itu saya juga sempat mengajar siswa kelas 12. Saya sudah bisa menebak mayoritas pilihan mereka selepas lulus. Jadi saya tidak bertanya.

Bagaimana dengan sekarang?
Saya mengajar di sebuah sekolah dengan fasilitas yang sangat lengkap. Dengan aula sekaligus ruang makan, klinik, perpustakaan, laboratorium komputer, laboratorium fisika, kimia, biologi, kelas dengan jumlah siswa terbatas, full AC dan speaker aktif.  Bisa ditebak ini adalah sekolah dengan dua tipe siswa yang sudah saya sebutkan di atas. Siswa dengan orang tua yang berada (dengan kecerdasan di atas rata-rata dan rata-rata), ada pula beberapa siswa cerdas yang mendapatkan beasiswa karena prestasinya dalam olimpiade.
Mengapa pada akhirnya saya memutuskan untuk mengajar di sekolah seperti ini?
Proses kesadaran paling dalam adalah dengan mengalami, memikirkan dan merenungkan. Saya sangat menyadari bahwa perubahan harus dilakukan bukan dengan memberbaiki persoalan cabangnya saja. Namun perubahan harus dilakukan dalam tataran sistemik, karena masing-masing persoalan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Karena itu perubahan yang dilakukan tidak bisa secara parsial (cabang) namun harus kompherensif (menyeluruh). Dengan kata lain mengubah sistem. 
Akhirnya saya menyadari, proses perubahan tidak bisa dilakukan dengan mengajar di sekolah. Karena apa yang kita ajarkan tidak bisa mentransformasi siswa menjadi sebuah pribadi baru. Proses perubahan perilaku berkorelasi dengan perubahan pemikiran dan perubahan pemikiran dapat dilakukan dengan proses pembinaan dengan mekanisme khusus (halqah atau liqa'). 
Bagi saya, mengajar adalah ibadah, karena itu saya akan mencari tempat terbaik untuk beribadah. Saya akan mencari tempat yang membuat saya bisa berkontribusi dengan maksimal serta membuat saya lebih baik.
Jika melihat input dari siswa di sekolah tempat saya mengajar sekarang, saya melihat bahwa mereka adalah calon generasi yang paling mungkin untuk diharapkan menjadi generasi PENGGANTI (bukan generasi penerus, jangan meneruskan keburukan yang ada). Mereka berasal dari latar belakang keluarga yang mapan, karena itu mudah bagi mereka untuk mendapatkan akses pendidikan. Sebagian besar siswa disini mampu melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Sangat mungkin diantara mereka kelak akan ada yang menjadi dokter, pemimpin rakyat, pengusaha yang memiliki banyak karyawan atau orang-orang yang memegang peranan penting nantinya di negeri ini.
Karena itulah saya mengajar di sekolah ini. Ketika saya mengajar Fisika, saya berusaha untuk tidak hanya mengajari mereka Fisika. Namun juga mendidik mereka untuk menjadi orang cerdas yang bertanggung jawab. Banyak nasihat-nasihat dari dosen-dosen saya yang saya sampaikan kembali kepada siswa saya. Karena mereka juga banyak menginspirasi saya. Saya menyampaikan kembali apa yang guru-guru saya ajarkan kepada saya tentang tujuan hidup. Mengingatkan tentang pentingnya berusaha keras, pentingnya peduli terhadap persoalan sekitar dan tidak bersikap individualis. Mengingatkan mereka untuk menjadi bagian dari solusi. Mengingatkan mereka tentang adanya hari akhir agar tidak membuat mereka sombong dengan kondisi yang ada. Ya, saya ingin meluruskan generasi pengganti ini.
Pertama kalinya saya bertemu kembali dengan siswa saya tahun kemarin, diantara mereka ada yang kuliah di kedokteran sampai ke Jerman, kuliah di Turki, kuliah kedokteran dan hukum di Indonesia. Saya sangat berharap kepada mereka untuk bisa menjadi aset bagi dunia kelak. 
 Saya tidak memandang sebelah mata bagi para guru yang mengajar di sekolah terpencil. Bahkan saya sangat kagum kepada perjuangan mereka yang sampai merenggut jiwa (salah satu pengajar di sekolah SM3T yang meninggal adalah adik tingkat saya). Saya juga mendengar banyak sekali kisah sekolah-sekolah di daerah terpencil dari kakak saya yang juga mantan pengajar muda program indonesia mengajar. 
***
Kesimpulannya, apapun profesi kita, dimanapun kita beraktivitas, dengan siapa kita berinteraksi sehari-hari, kita harus memberikan kontribusi sebesar-besarnya untuk perubahan. Itu yang selalu ditekankan oleh guru-guru saya.
Saya merindukan sebuah kondisi dimana akses ilmu pengetahuan sama mudahnya dengan bernafas. Saya merindukan ketika setiap orang berlomba-lomba untuk mencari ilmu dengan dorongan:
”Setiap muslim, laki-laki maupun perempuan hukumnya fardhu mencari ilmu”.
”Kejarlah ilmu sampai ke liang lahat”
”Barangsiapa mencari ilmu, dia sedang mencari Tuhannya”
”Mempelajari ilmu bernilai seperti puasa, mengajarkan ilmu bernilai seperti shalat, barangsiapa mati dalam perjalanan mencari ilmu, dia seperti mati syahid dalam jihad fi sabilillah”
”Kejarlah ilmu dari sumber manapun”
Dengan motivasi ini umat Islam mencapai kejayaannya dalam IPTEK pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid.  Dia memerintahkan untuk mendatangkan para pakar segala bahasa ke Istananya. Mereka bekerja dibawah koordinasi Yahya bin Masawih menerjemahkan segala buku ilmiah yang bisa diperloleh dari manapun saat itu. Untuk memperbanyak tim penerjemahan Khalifah al-Makmun mendirikan akademi penerjemahan. Tanpa pekerjaan mereka, dunia kita sekarang tidak akan megenal buku anatomi dari Galens; buku mekanika dan matematika dari Heron, Philo dan Menelaos; buku Astronomi dari Ptolomeus; buku Geometri dari Euklides; buku tentang irisan kerucut dari Appolonius; buku tentang kesetimbangan di air dari Archimides dan lainnya (Amhar, 2011).
Dalam Islam, sebelum menguasai ilmu pasti (IPTEKS), di sekolah dasar mereka dibekali dulu dengan akidah yang kokoh. Mereka mencari ilmu untuk memberikan kontribusi sebesar-besarnya pada kemudahan ibadah dan penyebaran cahaya Islam.  Belajar menjadi murah ketika akses ilmu dibuat mudah.
Ya, kita sedang tidak bernostalgia. Saya hanya ingin menekankan bahwa perubahan menyeluruh adalah perubahan sistemik. Dengan kata lain kita butuh revolusi untuk mengganti sistem yang rusak. Ibarat pohon, kondisi pohon yang sekarang sudah hampir mati dipenuhi oleh hama. Dibersihkan dedaunan atau rantingnya pun tidak akan membantu karena sudah rusak sampai ke akar. Yang perlu dilakukan adalah perubahan secara revolusioner. Mengganti pohonnya.  Dengan sistem Islam tentunya.[]
Wallahu’alam bishowab

Dilarang Kembali Lewat Pintu Masuk

Pernahkah kalian memilih suatu hal, namun dipertengahan kalian merasa begitu takut untuk maju dan ingin kembali pulang. Saat kalian berbalik arah, ada sebuah kenyataan pahit bahwa kalian tidak bisa pulang sebelum sampai garis finish. Karena disana pintu keluarnya.
Saya pernah.
Saya tau saya ini penakut. Namun iseng saya pernah masuk ke sebuah wahana di TSB yang berkaitan dengan alam ghaib (rumah hantu). Saya (saat itu bersama suami) naik eskalator, sesampainya di atas kami disambut oleh ruangan yang super seram. Mental saya drop, sieun pisaaaaan….. Saya menarik baju suami dan mengajaknya turun. Tapi ternyata, TIDAK ADA ESKALATOR TURUN! Disitu tertulis, “Dilarang kembali pulang! Pintu keluar ada di dalam”
Sejujurnya, seumur hidup saya baru pertama kali masuk rumah hantu. Dari sekian banyak kesempatan, saya selalu berhenti di depan pintu masuk dan saat ada suara teriakan dari dalam, saya langsung kabur. Meski tiket udah beli.
Jadi ini adalah pengalaman pertama saya masuk rumah hantu.
Akhirnya? Saya berusaha mengatasi rasa takut saya dengan merem dan bernyanyi dududu lalala… Waktu saya buka mata juga ngga apa-apa karena ternyata kebanyakan hantunya terlambat muncul. Pas saya udah lewat dia baru keluar. Jadi ngga serem serem amat hehehe (weeiiiissss…..)
Yang ingin saya bicarakan sebenarnya bukan tentang hantu. Namun bagaimana kita bisa menghadapi masalah kita SAMPAI SELESAI dan tidak mundur di awal ataupun di tengah. Bukankah Thariq bin Ziyad juga membakar kapal para tentaranya saat sampai di tempat penaklukkan? Tujuannya agar semua pasukannya meneguhkan hatinya akan tujuan utama mereka berada disana.
Sebetulnya saya sedang menasehati diri saya sendiri. Sekarang saya berada di sebuah negara yang menjadi impian saya sejak 4 tahun yang lalu. Namun, hanya berselang 5 hari, saya merasakan home sick yang amat sangat. Pengen pulang. Bukan apa apa, separuh jiwa saya ada di Indonesia, sehingga saya merasa tidak terlalu menikmati semuanya. Saya kemudian mengirim email kepada koordinator beasiswa untuk mempersingkat studi saya dan mereka menjawab: “Kamu harus menyelesaikan satu semester penuh” Artinya, tidak ada jalan pulang sebelum selesai.
Hal ini cukup membuat galau berkepanjangan dan membuat pikiran tidak fokus. Sedih saya rasa hal yang lumrah. Hingga kemudian Allah mempertemukan saya dengan banyak teman dari Indonesia di sebuah festival hari ini. Dari cerita mereka saya semakin malu karena perjuangan mereka disini untuk menimba ilmu benar-benar kuat. Bahkan cerita mereka bahkan lebih sedih, namun keberadaan mereka disana menunjukkan konsistensi yang baik. Sehingga banyak yang menuai kesuksesan dan sudah banyak pula yang berkontribusi. Saya pun berpikir bahwa saya disini karena sebuah tujuan. Belajar. Bukan hanya belajar secara kontekstual yakni belajar Fisika. Namun juga belajar hidup. Agar setelah selesai dan pulang nanti ada kontribusi yang bisa diberikan, untuk keluarga, dakwah dan ummat. Dengan kata lain saya kembali meluruskan niat menimba ilmu untuk akhirat.
Apapun itu, jika itu kebaikan yang kita pilih, maka jangan pulang sebelum selesai melaksanakannya. Apapun peran kita, baik sebagai seorang pengemban dakwah, mahasiswa, seorang istri, suami, anak, ayah, ibu, nikmati saja prosesnya dan selalu ingat akan tujuan utama setiap aktivitas yakni mendapatkan Ridho Allah… Berdoa jika menghadapi kesulitan, karena Dia menjanjikan 2 kemudahan dalam 1 kesulitan. J
Kerinduan ini akhirnya terobati dengan menulis…

*tulisan ini ditujukan untuk menampar diri sendiri



Hati-hati kalau nge-cap!

Pernah ngga kalian mengalami ini. Kalian beli sesuatu di minimarket, terus yang jualannya orang Cina. Jujur, apa yang ada di kepala? Ah, pasti engko-engkonya pelit dan irit. Gitu ngga? Padahal kita sama sekali belum pernah ketemu dengan engko-engko tadi meski dalam mimpi. Begitulah, sepertinya kita hidup di lingkungan yang penuh dengan stereotype (stempel/ cap yang melekat). Orang padang stereotypenya pandai dagang, orang Sunda di cap suka dandan, padahal ngga semuanya gitu kalee. Begitu juga dengan harokah dakwah, hati-hati ngaji di situ mereka bahasnya politik aja, eeeh, jangan ngaji disitu, itu kajian sesat lho, bid’ah, ngga nyunnah. Orang yang tadinya pengen bener buat ngaji, jadinya kemakan isu dan kebanyakan malah jadi males buat ngaji. Gitu ngga sih?
Sama kayak disini, sekarang menyambung catatan yang sebelumnya. Di Eropa sini nih, berita tentang Islam itu ngga imbang banget. Ngga sesuai dengan kenyataan. Bahkan Islam dan Teroris adalah dua kata yang hampir tidak terpisahkan. Yang ngga kritis biasanya nelen aja mentah-mentah. Saya inget dulu waktu naik kereta di Jerman, ada seorang penumpang yang baca koran. Disana terpampang besar-besar (kurang lebih isinya) Teroris dengan gaya baru: Jeans dan kerudung koboy. CMIIW. Plus ada foto besar seorang akhwat dengan kerudung pas mina dan pake jeans. Parahnya, waktu itu saya pake jilbab bahan jeans dan kerudung pas mina dengan gaya persis di gambar. *ya Allah itu gambar gue bangeeet. Serem juga sih kalau tiba-tiba ditangkep gara-gara mirip sama yang di gambar. Tapi engga ding, alhamdulillahnya mereka woles dan selama disini saya ngga pernah dapet pengalaman buruk.
Aslinya, sebelum saya kesini, saya ngga tahu bahwa stereotype tentang Islam Teroris di Eropa sangat kuat. Plus karena semua orang disini tampak respek dan tidak pernah melakukan hal yang tidak menyenangkan kepada saya. Namun, saya tidak tahu bahwa ternyata tidak semudah yang dikira untuk menjadi muslim disini.
Sister dari Perancis bercerita tentang negara tempat dia dilahirkan, Afghanistan. Cap yang dialamatkan kepada Afganishtan adalah Taliban, pengekangan perempuan, kewajiban menggunakan burka dan niqab. Karena itu si Malala diekspos sama PBB waktu dia buka suara tentang Taliban. (http://topinfopost.com/2013/07/22/the-talibans-letter-to-malala-yousafzai). Terlepas benar atau tidak dari kesaksian Malala, tapi kira-kira PBB melakukan hal yang sama ngga ya kalau pelakunya orang Barat. Saya kira tidak.
Padahal, kata dia, di negaranya ngga gitu-gitu banget. Perempuan hidup normal, bahkan banyak juga yang ngga pake cadar. Banyak berita tentang negaranya yang salah. Sekarang dia hidup di perancis dan bukan sebuah hal yang mudah seseorang dengan wajah eropa menggunakan hijab. Sering dia mengalami, saat naik bus, sopirnya menutup pintu bus saat melihat dirinya. Atau diusir keluar saat masuk ruang kuliah.
Sister dari Poland yang sekarang tinggal di Belanda juga mengalami hal yang sama. Dia sudah lima tahun menjadi mualaf, namun ayah dan ibunya tidak tahu dia menjadi mualaf. Dia menikah dengan seorang muslim dan dia meyakinkan kami bahwa dia menjadi mualaf bukan karena suaminya. Dia melewati proses berpikir dan itu semata-mata adalah pilihannya. Orang tuanya tahu dia menikah dengan seorang muslim, mereka tidak keberatan. Namun catatan penting dari ibunya, kamu lahir beragama XXX, tidak apa apa kamu menikah dengan muslim, tapi kamu harus meninggal dalam keadaan XXX. Jadi, boleh menikah asal tidak meninggalkan agamanya.
Sekarang dia dilema, ada kewajiban untuk menjaga perasaan orang tua, dia tahu ibunya sedang sakit dan khawatir kondisinya memburuk jika mendengar beritanya.
Memang ada juga yang keluarganya open minded, terserah mau memilih agama apa yang penting bikin kamu jadi lebih baik. Dia menjadi mualaf sudah setahun, and everything is ok. Tapi ada juga yang sampai diusir dan ngga dianggap keluarga lagi (sama kayak di Indonesia banyak kan ya…).
Saya jadi bersyukur terlahir sebagai muslim…
Kamu tau sister, disini warga negara asli punya anggapan bahwa orang Poland pasti agamanya XXX, jika berganti agama artinya kamu bukan Polish lagi. Ketika menyetir mobil, sebelum menggunakan hijab polisi lalu lintas sangat ramah. Namun setelah menggunakan hijab, dibiarkan lewat pun tidak. Dimana-mana, akan ada tatapan sinis ketika kamu menggunakan hijab. Kamu orang Poland, kenapa harus pake baju kayak gitu.
Lucunya lagi, bahkan negara yang mayoritasnya muslim pun sama saja. Teman sekamar saya cerita, katanya ada dua kubu di Turki. Kubu Kemal (Attaturk) dan Kubu Erdogan. Turki menjadi negara yang sekular di bawah kubu Kemal. Kita tidak boleh berkata buruk sedikitpun tentang Attaturk karena mayoritas orang Turki berada di pihak Attaturk. Sedangkan kubu Erdogan adalah orang-orang yang mendukung diperbolehkannya menggunakan identitas agama dalam kehidupan. Masing-masing wilayah di Turki punya kubunya masing-masing, jadi bisa jadi perlakuan orang terhadap orang yang berhijab berbeda. Tergantung di bawah kubu siapa dia berada. Rupanya pengaruh sekularisme di Turki sudah sedemikian parah, sampai kadang-kadang teman saya ini bingung. Well, kalau di Indonesia, kita sayang sama saudara muslimah kita sehingga banyak yang menasehati mereka untuk berhijab. Di Turki? Kebalik, hehehe… Dia sering ‘diceramahi’ baik di bus, di sekolah, di manapun dia berada (karena kawasan tempat dia mayoritas kubu Kemal). Ibu-ibu protes kepadanya kenapa kamu menutup kepala dengan kerudung? Bahkan pernah ada seorang laki-laki yang menceramahinya selama setengah jam tentang kerudungnya tanpa dia sadari. Karena dia pake headshet di dalem kerudungnya. :D Di sekolah dia tidak punya teman karena cara berpikirnya yang ‘unik’ (padahal Islam memang begitu).
Saat berangkat ke masjid saja, teman Turkinya masih bertanya-tanya “Kamu kenapa harus ke masjid?”
“Sekarang Idul Adha neng”
“No no no, itu pembunuhan binatang (padahal disana kita ngga nyembelih apapun). Tapi boleh lah ada pesta kan ya”
“No, itu bukan pesta, tapi ibadah neng. Sholat Eid”
Dia masih ngga ngerti juga, padahal dia orang ISLAM! Capek deeeh….
Ya, terlalu banyak stereotype yang dialamatkan kepada Islam, terlalu melekat konsep sekularisme pada umat Islam. Yang menjadikan Islam terasing bahkan di dalam komunitasnya sendiri.
Ajaibnya lagi, ada seorang sister yang menggebu-gebu membicarakan tentang diskriminasi Islam, dia punya anak namanya Omar. Dia berhijab. Dia berharap kebanyakan orang berhenti memusuhi Islam. Dan ternyata dia non muslim! Namun dia suka menggunakan hijab. Aneh, tapi nyata..
(Eh, tapi memang banyak juga kan ya yang non muslim pake hijab karena mereka merasa aman)
Setidaknya hal itu menjadikan kita disini harus bersyukur. Bahwa tantangan untuk berIslam secara kaffah di negeri ini belum sampai se-ekstrim negara-negara lain. Bahwa upaya menyadarkan umat akan bahanya sekularisme tidak boleh berhenti, karena itu sangat berbahaya. Bahwa kondisi yang ‘nyaman’ di negeri sendiri tidak boleh menjadikan kita terlena dan bermalas-malasan *cetarrr! Mencambuk diri sendiri.
Bahwa Islam yang kita bawa adalah fitrah, sehingga bisa jadi (seperti banyak yang sudah mengalami) Islam merubah hidupnya 180 derajat. Wallahu alam bishowab… 


NB: Saya ada Peer nih dari dosen Polish Culture and History, dia kayaknya pengen tau banget tentang Indonesia. Saya banyak ditanya-tanya selama belajar. Dia ngasih peer untuk bikin presentasi tentang Indonesia, gimana perempuan disana (kemakan stereotype),  kira-kira apa yaaa yang harus ditampilkan? 

Obat Hati Part 1

Benar memang apa kata nabi, berkumpul dengan orang shaleh membawa kedamaian di hati, membasuh kekeringan jiwa dan menambah ghirah serta semangat untuk terus menjadi manusia yang taat. Saat ini saya sedang keluar dari wilayah nyaman. Nyaman saat dikelilingi oleh orang terkasih, yang mengingatkan dengan tulus jika saya salah. Lingkungan yang kondusif dan pergaulan yang terjaga. Jika dipikir-pikir, dari mulai lingkungan rumah, kampus tempat belajar, ataupun sekolah tempat mengajar, semuanya kondusif. Menyenangkan sekali, bisa terus terjaga dan saling menjaga dalam kebaikan.
Ya, tapi yang namanya manusia harus bisa hidup di segala kondisi. Taat tidak hanya jika dilihat. Dalam kondisi orang di sekitar banyak yang bermaksiyat, kita harus tetap taat. Kayak sekarang, dimana-mana terlihat semua hal yang dianggap tabu untuk dilihat (di negara kita). Saya yang serba tertutup begini malah jadi artis dan dilirik (meski diam-diam) saat berjalan di tempat umum. Kadang penasaran apa yang mereka pikirkan, tapi ya positif thinking aja (biasa lah orang cantik . Sholat ngga ada mushola dan waktu belajarnya mepet-mepet. Ngga ada adzan pula, jadi harus siap siaga jadwal sholat setiap harinya. Mau makan harus tenang dan baca baik-baik jangan sampai kemakan hal yang haram. Mau keluar kamar aja harus ngintip-ngintip takut ada laki-laki yang masuk. Tapi ya, itu semua cara Allah untuk mengajari kita sifat wara’, berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Intinya, woles aja hehehe…
Allah selalu memberikan dua kemudahan dalam satu kesulitan. Alhamdulillahirabbil’alamiin…
Kemudahan pertama, saya bisa bertemu dengan komunitas halqah online. Meski on line via skype, namun terasa nyes… sampai ke hati. Saya ingat, ketika ada seorang kawan yang bertanya; “Fit, kamu masih ngaji di As-Saied?”. Saya menjawab, “Insya Allah, karena hidup saya stabil hanya dengan mempelajari ilmu Islam dan bergabung di Jamaah dakwah.” Ya, tidak ikut halqah seminggu saja rasanya ada yang hilang. Saya sujud syukur waktu bisa ketemu komunitas ini. Halqah, kajian eksternal dan internal semuanya tetap berjalan seperti biasa. Bedanya hanya tidak bertatap wajah saja. Wawasan semakin luas dan saya merasa dikuatkan kembali bersama mereka.
Kemudahan kedua, adalah masjid. Kakak tingkat saya yang memberikan informasi berharga ini. Jangan tanya bagaimana rasanya saat melihat masjid di kota ini untuk pertama kalinya. Saya sempat diam di depan masjid untuk beberapa saat, menikmati kebahagiaan menemukan rumah-Nya.
Iedul adha kali ini juga beda. Takbir tidak menggema dimana-mana, bahkan di malam takbiran ada party di lantai atas. Musiknya keras dan berhasil bikin suasana berasa di klub malam :P. Karena tidak konsen belajar (ehem belajar…), akhirnya saya tidur lebih awal karena besok jam enam saya harus berangkat ke masjid.
Shubuh disini jam 5.30, setelah sholat shubuh kami (saya dan roommate) mengejar tram no.1 yang ternyata sudah datang. Alhamdulillah bapaknya baik, kami ditungguin sampai masuk. Perjalanan menuju masjid makan waktu sekitar 30 menit. Di luar masih gelap dan sebetulnya kami janjian dengan teman dari Pakistan. Namun sepertinya hanya kami yang masuk tram :D
Sampai di masjid, baru ada kami berdua. Perempuannya maksudnya. Ada bapak-bapak dateng ke ruangan akhwat, mengasapi ruangan dengan aroma yang khas masjid.
“Are you from Indonesia?” tanyanya kepadaku. Saya mengangguk. Wow, hebat juga Bapak ini bisa nebak saya dari Indonesia, kenapa ngga dikira dari Palestina aja (akhwat disana kan cantik-cantik, hohoho).
“Subhanallah... Do you understand Arabic? Or Polish?”
Jleb, tengsin nih. Makanan setiap minggu kitab berbahasa Arab, tapi ngga ngerti banget bahasa Arab. Tapi ya jujur adalah segalanya, akhirnya saya menggeleng, “I don’t understand both. Just English”
Bapak itu senyum, it’s okay. Baru diketahui ternyata khutbahnya pake bahasa Arab dan Polish fren!
Gema takbir bersahutan di dalam masjid. Satu per satu para muslimah hadir juga. Dengan warna kulit, warna mata dan cara berpakaian yang berbeda. Subhanallah, senangnya bertemu dengan banyak muslimah dari berbagai negara. Ada yang dari Perancis, Pakistan, Belanda, Bangladesh, bahkan banyak juga native Polish yang convert agamanya ke Islam.
Selesai sholat, dilanjutkan dengan khutbah yang membuat kening berkerut. Ada beberapa kalimat yang dimengerti. (lalala yeyeye, ngga bleng-bleng amat). Tentang kondisi umat Islam di Mesir, Suriah, dan beberapa negara Islam lainnya.
Selesai sholat Ied kami diantar ke atas untuk sarapan. Naik ke atas meja-meja sudah berjejer, sudah penuh dengan makanan yang cukup membuat perut yang belum diisi keroncongan. Saya duduk dengan sister dari Turki, tiga native Poland dan seorang perempuan cantik dari Perancis, dia lahir di Afganishtan.
Dari sinilah pembicaraan kami dimulai... Supaya tidak capek bacanya, saya cerita di catatan lain yaa…  



HARKOS

Salah satu yang beda dari masyarakat eropa dengan lingkungan di asia adalah kejujuran mengungkapkan perasaan. Terkadang bagi saya yang baru disini, kejujurannya terasa frontal. Kalau di kelas, mereka ngga ngerti dengan penjelasan seorang guru, dia bakal bilang apa adanya. Kalau misalnya ditanya tentang sebuah pendapat atau pemikiran, mereka seperti yang bebas mengungkapkan apa yang ada di kepala mereka. Jadi inget waktu belajar ada yang nanya sama gurunya ketika sang guru sedang merekomendasikan sebuah buku, buku ini beneran berguna ngga sih? Hihihi.. berani bener dia.
Kalau kita sih, sebelum berucap mungkin banyak yang bertanya balik sama diri sendiri, lawan bicara kita akan tersinggung atau tidak, pertanyaan kita akan ditertawakan atau tidak. Kita banyak menimbang-nimbang dan pada akhirnya entahlah tapi ini yang saya perhatikan, murid-murid dari asia itu pendiam kalau di kelas. Ya memang ngga semuanya kayak gitu, itu mah kasuistik mungkin ya.
Kalau saya pribadi, waktu di Indonesia sering ngerasa ngga enakan. Gimana ya menjelaskannya, tapi ketika kita diajak atau ditawari seseorang yang kitanya ngga mau, kita sering berlindung di balik kata Insya Allah, yang artinya; ngga yakin! Ini berlawanan dengan hal yang seharusnya, Insya Allah tetap merupakan janji yang harus ditepati kecuali ada hal yang diluar kuasa kita terjadi. Perasaan ngga enakan ini yang sebetulnya harus dihindari. Bagus sih sebenernya mempertimbangkan perasaan orang lain, tapi ya jujurlah pada prinsip yang dipegang. Akhirnya malah kita jadi tukang ngasih harkos (harapan kosong).
Kasus 1:
Kamu ditawari makanan sama teman, kebanyakan kita menolak dengan alasan kesopanan (padahal kita juga ngiler tuh ngeliat makanannya). Kalau mau ya bilang aja mau. Nah, masalahnya juga nih banyak juga yang menawari hanya karena sopan santun. Hihihi… pada akhirnya kesimpulannya; ngga sopan kalau kamu makan ngga nawarin ke orang lain dan lebih sopan untuk menolak ketika ditawari makanan. Eh gitu ngga sih? Hihihi…
Kasus 2:
Kamu diajak temen untuk hangout atau ke pengajian. Tapi sebenernya kamu males, tapi ngga mau bikin temennya patah hati. Akhirnya? Insya Allah lagi, pada hari H 80% dia ngga akan dateng karena berbagai alasan.
Kalau kita ngga berani jujur mengungkapkan perasaan, ini akan menjadi bibit-bibit ngomongin di belakang. Terlebih kita jadi tukang penebar harapan kosong (harkos).
Oh iya, ada satu fakta baru, tapi ya ngga tau juga bener atau engga, kenapa ya kayaknya kita lebih jujur kalau menggunakan media-media tidak langsung. Misalnya lewat sms, line, we chat, whatsup, facebook, twitter, dll? Lihat saja bagaimana komentar-komentar terhadap suatu kasus, baik yang membully ataupun yang mendukung. Itu kali ya kenapa orang lebih suka bilang Insya Allah pas ketemu langsung, tapi membatalkan lewat sms. :P
Terus kita harus gimana?
Ya jujurlah pada prinsip yang dipegang. Saya secara pribadi masih sering juga merasa ngga enakkan dan akhirnya ngga jujur pada diri sendiri. Sekarang saya berada di sebuah negara yang jauh, dimana perbedaan menjadi hal yang sangat dominan. Jika tidak jujur pada prinsip sendiri, maka yang terjadi adalah saya banyak melanggar prinsip. Disini ngga sopan kalau misalnya kita ngga ikut minum alcohol pas lagi pesta pernikahan, maka kita ikut-ikutan minum karena tak kuasa menolak. Ngga apa-apa deh ngga sholat karena ngga enak minta izin keluar kelas sebentar pada saat jam kuliah. Disini semua merayakan natal, jadi ngga enak kalau kita ngga ikut-ikutan merayakan. Tuh kan, jadinya banyak mentolerir disi sendiri dan mencari-cari alasan untuk melanggar prinsip.
Dari sekarang saya belajar teguh pada prinsip yang diemban. Masalah dia akan tersinggung atau tidak itu kan masalah komunikasi. Kita yang tau situasi dan kondisi saat sesuatu itu terjadi. Maksudnya ya, pinter-pinternya kita lah mengungkapkan sesuatu tapi jangan sampai membohongi diri sendiri.
Well, akhirnya gini deh ya, kalau memang kita melakukan sesuatu niatnya karena ibadah, kita ngga akan terlalu dipusingkan dengan apa kata orang di luar. Ridho yang paling sulit diraih itu ya ridho semua manusia. Kan enak kalau misalnya tujuannya lurus ke atas ;) Kita diajari untuk diam ketika harus diam dan berbicara ketika harus berbicara. Apa itu konteksnya? Silahkan lihat apa kata nabi..

Jangan sampai kita menyembunyikan kebenaran hanya karena kita takut. Be free! Cuek aja lagi ;)
*lagi lagi tulisan ini ditujukan untuk menampar diri sendiri.

NB: Ini adalah nasehat yang sama yang diberikan oleh kakak-kakak yang tinggal jauh dari negeri asal. Terima kasih ya, saya sekarang bisa lebih berani untuk jujur pada diri sendiri.