Sabtu, 08 Januari 2011

Kereta Rakyat Djelata (KRD)

Jika kau ingin melihat seperti apa keadaan Indonesia yang sebenarnya, naiklah kereta KRD. Sebetulnya, KRD singkatan dari Kereta Rel Diesel. Namun teman-temanku banyak yang menerjemahkannya sebagai ‘Kereta Ribut Diuk’ atau ‘Kereta Rakyat Djelata’. Jangan dibayangkan kereta ini seperti Shinkansen yang super cepat di Jepang. Walapun hitam legam, kereta ini banyak yang menunggu setiap harinya. Berebut masuk bukan hal yang aneh. Kalau terjatuh, ya bangun sendiri. Tak boleh ada yang mengeluh jika ternyata di dalam kereta sangat panas. Penumpangnya selalu membludak, bahkan sampai ada yang naik diatap. Maklum, karcisnya murah, hanya Rp.1000. Dibandingkan dengan KRD Patas yang harga karcisnya 5 kali lipat, kereta ini bisa dibilang sangat merakyat. Sebetulnya hati ini sedih nian, karena di negara ini fasilitas berbanding lurus dengan uang yang kita punya. Kapan ya kita bisa menikmati fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi, tanpa dibedakan dari uang yang kita punya (curhat mahasiswi kere^^).
Semua kalangan masyarakat berkumpul di kereta ini. Pedagang, mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, karyawan, sampai pengamen dan pencopet pun ada di sini. Bahkan kadang-kadang kita harus rela satu gerbong dengan kambing atau ayam. Seperti sekarang, aku ada di dalam kereta ini . Berhimpitan dengan ibu-ibu yang baru  pulang dari pabrik. Berkali-kali aku mengelap buliran keringat sebesar biji jagung. Udara disini luar biasa panas. Satu-satunya kesejukan berasal dari jendela kereta yang terbuka. Lumayan.
Aku sudah sangat kesempitan, namun banyak pedagang yang sibuk bolak-balik menjajakan dagangannya. Oke, aku tak bisa menyalahkan mereka. Walapun sebenarnya hatiku sangat kesal.
Hatiku mencelos, saat kulihat seorang anak kecil membawa radio tape yang ukurannya lumayan besar. Bajunya kotor, seperti belum pernah dicuci. Banyak penumpang yang kasar terhadapnya. Berkali-kali kulihat ia tersandung, dan hampir menangis. Ia menyalakan radionya, dan mulai menyanyi. Dibelakangnya, seorang ibu berpegangan padanya. Sambil menyodorkan bungkus permen kosong kepada setiap penumpang. Gadis seusia anak itu seharusnya berada di kelas dan mulai belajar bersama teman-temannya. Bukan mengamen di kereta ini. Aku punya adik yang seusia dengan anak itu. Tak bisa kubayangkan seandainya adikku bernasib sama dengannya. Kenapa ibunya membiarkan dia mengamen? Bukankah seorang ibu seharusnya menjaga anak-anaknya? Tiba-tiba aku merasakan luapan sayang dan terima kasih pada ibu yang membesarkanku. Sesaat aku menyadari betapa beruntungnya aku.
Ibu-ibu didekatku sepertinya sudah sangat kelelahan. Kaus lengan panjang yang dipakainya sudah basah oleh keringat. Sejenak aku bisa mendengar pembicaraan mereka. Tentang pekerjaan mereka yang melelahkan, dengan gaji yang tak memadai. Tentang keinginan mereka untuk berhenti dan tinggal di rumah menjaga anak-anak.
”Nggak bisa dong bu, kalau kita berhenti kerja bagaimana anak-anak kita bisa sekolah. Sekarang kan apa-apa mahal, gaji suami aja nggak cukup“
”Tapi kalau kerja terus, saya khawatir anak saya salah gaul”
Aku menghela nafas. Zaman sekarang menjadi seorang ibu tidak gampang. Banyak sekali dilema yang menerpa. Seandainya harga bahan pokok bisa turun. Seandainya pendidikan bisa murah. Seandainya pergaulan anak muda bisa dikontrol. Mungkin para ibu tak akan terlalu susah menjalankan kewajibannya. Ia akan lebih fokus dalam mendidik anak-anaknya. Sehingga akan lebih banyak lagi generasi muda yang berkualitas.
Dalam suasana yang pengap, tiba-tiba terdengar suara getir seorang ibu.
“Aduh, dompet saya hilang” wajah ibu itu terlihat pucat. Berkali-kali ia memeriksa tas kecilnya yang ternyata sudah dilubangi. Wajahnya semakin pucat seperti mau menangis.
“Tadi waktu naik kereta, dompetnya masih ada. Sekarang sudah hilang. Padahal uang saya tinggal segitu-gitunya” sekarang ibu itu benar-benar menangis.
Aku geram sekali pada sang pencopet. Kenapa ia memilih ibu yang sudah jelas terlihat kesusahan begini.
”Tenang bu..“ banyak penumpang yang mencoba menenangkan ibu itu. Namun, sepertinya ia semakin histeris.
”Berapa uang yang hilang, Bu?“ tanya seorang penumpang
”Dua.. ratus ribu. Itu… untuk membayar uang sekolah anak saya“ ujarnya sambil sesengukan.
Terlalu banyak orang yang berkumpul sehingga aku tak bisa lagi menyimak apa yang terjadi kemudian. Namun aku tahu, dalam kereta yang penuh sesak ini mustahil pencopetnya bisa ditangkap. Ternyata banyak juga orang yang memanfaatkan situasi yang tidak terkendali. Padahal, kalau sang copet mau berfikir, di kereta ini jarang ditemukan orang yang kaya. Kenapa ia tega mengambil uang dari orang yang kesusahan. Semoga sang pencopet cepat tertangkap dan sadar, kemudian bertaubat, dan jadi pejuang Islam doaku dalam hati.
Indonesia semiskin apa sih? Bukankah kita ini kaya? Kemana sumber daya alam melimpah yang dianugerahkan Allah kepada Indonesia? Betul-betul geram rasanya pada sistem Kapitalisme penyebab semua ini terjadi.
Tak terasa kereta sudah sampai membawaku ke tempat tujuan. Banyak penumpang yang turun di stasiun ini, sehingga pintu keluar semakin sesak. Beberapa kali kakiku terinjak.
Hup! Dengan sekali lompat akhirnya aku bisa keluar juga. Udara segar terasa lembut menerpa wajahku. Senangnya, sudah sampai dengan selamat. Aku membetulkan letak khimarku yang miring. Tali sepatuku sepertinya copot. Kaus kakiku yang putih kini sudah berubah warna menjadi coklat. Biarlah, biar semuanya menjadi saksi. Bahwa dalam kereta hitam ini aku banyak belajar. Tentang kerasnya kehidupan, tentang pentingnya pendidikan, tentang kasih sayang seorang ibu. Sehingga aku betul-betul menyadari pentingnya revolusi sistem kehidupan dan tetap memperjuangkannya.
Kereta hitam penuh debu itu terlihat bergerak tak lama kemudian. Aku masih terdiam menatap keberangkatan kereta tua itu. Kereta yang tak bisa mengeluh walau kondisinya tak pernah diperhatikan. Banyak yang jahil mencorat-coret gerbongnya, merusak atapnya atau mengotori lantainya. Walau begitu, ia tetap saja setia mengantar penumpangnya ke tempat tujuan. Seandainya kereta berperasaan, mungkin ia akan menangis diperlakukan tidak adil begitu.
Selamat jalan kereta hitamku… Banyak hal yang kupelajari darimu, dan dari penumpangmu. Semoga di kemudian hari segalanya akan berubah. Ketika orang-orang memiliki kehidupan yang lebih baik sehingga tidak ada yang berniat merusak fasilitas umum. []
(Rancaekek, dipenghujung bulan Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar