Waktu itu saya cobain tuh. Saya inget-inget lagi kapan terakhir sakit hati. Dalam kondisi sedang sakit saat itu saya tidak terlalu bisa berpikir jernih. Saya ngga mau ingat-ingat tentang sakit hati karena ternyata memang di awalnya bikin kita tambah sakit.
Kemudian saya ingat satu kejadian yang sampai sekarang meskipun sudah dicabut pakunya, saya masih merasakan nyeri di dada ketika mengingatnya. Eh, ngomong-ngomong soal paku, suer ini bukan tentang kuntilanak. Maksudnya gini, pernah kan denger sebuah pepatah, bahwa jika kita menyakiti seseorang, itu sama halnya kita menancapkan sebuah paku di dadanya. Yang meski sudah dicabut namun masih ada bekasnya. Artinya gini, meskipun kita sudah memaafkan, namun tetap saja pada saat-saat tertentu rasa nyeri itu bisa muncul kembali. Makanya kita harus hati-hati dalam bertutur dan berperilaku terhadap sesama.
Ada satu kejadian yang sampai sekarang saya masih merasa sakit hati. Ya Allah, saya ngga mau hidup dengan rasa dendam, berikanlah kemudahan untuk bisa memaafkan tanpa bekas.
Bagi saya, tak ada seseorang yang memang suka menyakiti orang lain. Normalnya begitu. Namun memang kita hidup dengan berbagai macam karakter orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Banyak teori yang menyatakan bahwa karakter seseorang saat dewasa itu bergantung pada pendidikan semasa kecilnya. Nah bisa jadi seseorang yang senang sekali menyakiti itu punya latar belakang masa kecil yang menyedihkan. Dan dalam kasus saya, orang tersebut memang diketahui seperti itu.
Tak perlu saya ceritakan secara detail bagaimana saya bisa sakit hati. Yang jelas, terkadang ada orang yang benar-benar menderita ketika kita bahagia, dan berusaha menghilangkan kebahagiaan dalam diri kita. Setidaknya cara paling sederhananya, ngomongin kita di belakang dan menebar fitnah. Dalam beberapa situasi saya kaget dong mendadak ada yang konfirmasi kepada saya, katanya saya begini dan begitu. Padahal di depan saya orang yang menebar fitnah tersebut baik-baik saja (kelihatannya), namun ternyata di belakangnya membicarakan. Parahnya ada yang sampai berbicara kepada ibu saya seperti ini; "Ibu ngga tau Fitri itu seperti apa di belakang, bisa jadi di depan ibu baik-baik saja namun di belakang ibu ternyata nakal"
Saya benar-benar terluka saat itu. Sampai sekarang saya ngga pernah punya rahasia sama mama, semuanya selalu saya ceritakan. Ketika ada yang bilang kayak gitu, hati saya hancur. Saya menangis sejadi-jadinya di pangkuan mama. Sama mama juga nangis dan mama percaya sama saya. Saya ngga pernah jadi anak nakal di belakang mama. Hiks, jadi sedih.
Kemudian mama menasehati saya, bahwa memaafkan itu lebih utama. Dia juga menjelaskan bahwa masa kecil orang tersebut memang kurang menyenangkan, dia sering mendapatkan perlakuan kasar, sehingga kurang kasih sayang. Mama bilang sebaiknya saya bersikap lapang dada, memaafkan dan memaklumi.
Sejak saat itu saya berusaha untuk tidak merubah sikap terhadapnya. Meski saya mengurangi interaksi dengannya. Yang jelas, saat saya jatuh sakit, saya benar-benar ingat kejadian yang sudah lama terjadi itu. Saya pun belajar untuk tidak sembarangan menancapkan paku di hati seseorang alias menyakiti orang lain.
Sekian numpang curhat :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar