Pernah ngga kalian mengalami ini. Kalian beli sesuatu di minimarket, terus yang jualannya orang Cina. Jujur, apa yang ada di kepala? Ah, pasti engko-engkonya pelit dan irit. Gitu ngga? Padahal kita sama sekali belum pernah ketemu dengan engko-engko tadi meski dalam mimpi. Begitulah, sepertinya kita hidup di lingkungan yang penuh dengan stereotype (stempel/ cap yang melekat). Orang padang stereotypenya pandai dagang, orang Sunda di cap suka dandan, padahal ngga semuanya gitu kalee. Begitu juga dengan harokah dakwah, hati-hati ngaji di situ mereka bahasnya politik aja, eeeh, jangan ngaji disitu, itu kajian sesat lho, bid’ah, ngga nyunnah. Orang yang tadinya pengen bener buat ngaji, jadinya kemakan isu dan kebanyakan malah jadi males buat ngaji. Gitu ngga sih?
Sama kayak disini, sekarang menyambung catatan yang sebelumnya. Di Eropa sini nih, berita tentang Islam itu ngga imbang banget. Ngga sesuai dengan kenyataan. Bahkan Islam dan Teroris adalah dua kata yang hampir tidak terpisahkan. Yang ngga kritis biasanya nelen aja mentah-mentah. Saya inget dulu waktu naik kereta di Jerman, ada seorang penumpang yang baca koran. Disana terpampang besar-besar (kurang lebih isinya) Teroris dengan gaya baru: Jeans dan kerudung koboy. CMIIW. Plus ada foto besar seorang akhwat dengan kerudung pas mina dan pake jeans. Parahnya, waktu itu saya pake jilbab bahan jeans dan kerudung pas mina dengan gaya persis di gambar. *ya Allah itu gambar gue bangeeet. Serem juga sih kalau tiba-tiba ditangkep gara-gara mirip sama yang di gambar. Tapi engga ding, alhamdulillahnya mereka woles dan selama disini saya ngga pernah dapet pengalaman buruk.
Aslinya, sebelum saya kesini, saya ngga tahu bahwa stereotype tentang Islam Teroris di Eropa sangat kuat. Plus karena semua orang disini tampak respek dan tidak pernah melakukan hal yang tidak menyenangkan kepada saya. Namun, saya tidak tahu bahwa ternyata tidak semudah yang dikira untuk menjadi muslim disini.
Sister dari Perancis bercerita tentang negara tempat dia dilahirkan, Afghanistan. Cap yang dialamatkan kepada Afganishtan adalah Taliban, pengekangan perempuan, kewajiban menggunakan burka dan niqab. Karena itu si Malala diekspos sama PBB waktu dia buka suara tentang Taliban. (http://topinfopost.com/2013/07/22/the-talibans-letter-to-malala-yousafzai). Terlepas benar atau tidak dari kesaksian Malala, tapi kira-kira PBB melakukan hal yang sama ngga ya kalau pelakunya orang Barat. Saya kira tidak.
Padahal, kata dia, di negaranya ngga gitu-gitu banget. Perempuan hidup normal, bahkan banyak juga yang ngga pake cadar. Banyak berita tentang negaranya yang salah. Sekarang dia hidup di perancis dan bukan sebuah hal yang mudah seseorang dengan wajah eropa menggunakan hijab. Sering dia mengalami, saat naik bus, sopirnya menutup pintu bus saat melihat dirinya. Atau diusir keluar saat masuk ruang kuliah.
Sister dari Poland yang sekarang tinggal di Belanda juga mengalami hal yang sama. Dia sudah lima tahun menjadi mualaf, namun ayah dan ibunya tidak tahu dia menjadi mualaf. Dia menikah dengan seorang muslim dan dia meyakinkan kami bahwa dia menjadi mualaf bukan karena suaminya. Dia melewati proses berpikir dan itu semata-mata adalah pilihannya. Orang tuanya tahu dia menikah dengan seorang muslim, mereka tidak keberatan. Namun catatan penting dari ibunya, kamu lahir beragama XXX, tidak apa apa kamu menikah dengan muslim, tapi kamu harus meninggal dalam keadaan XXX. Jadi, boleh menikah asal tidak meninggalkan agamanya.
Sekarang dia dilema, ada kewajiban untuk menjaga perasaan orang tua, dia tahu ibunya sedang sakit dan khawatir kondisinya memburuk jika mendengar beritanya.
Memang ada juga yang keluarganya open minded, terserah mau memilih agama apa yang penting bikin kamu jadi lebih baik. Dia menjadi mualaf sudah setahun, and everything is ok. Tapi ada juga yang sampai diusir dan ngga dianggap keluarga lagi (sama kayak di Indonesia banyak kan ya…).
Saya jadi bersyukur terlahir sebagai muslim…
Kamu tau sister, disini warga negara asli punya anggapan bahwa orang Poland pasti agamanya XXX, jika berganti agama artinya kamu bukan Polish lagi. Ketika menyetir mobil, sebelum menggunakan hijab polisi lalu lintas sangat ramah. Namun setelah menggunakan hijab, dibiarkan lewat pun tidak. Dimana-mana, akan ada tatapan sinis ketika kamu menggunakan hijab. Kamu orang Poland, kenapa harus pake baju kayak gitu.
Lucunya lagi, bahkan negara yang mayoritasnya muslim pun sama saja. Teman sekamar saya cerita, katanya ada dua kubu di Turki. Kubu Kemal (Attaturk) dan Kubu Erdogan. Turki menjadi negara yang sekular di bawah kubu Kemal. Kita tidak boleh berkata buruk sedikitpun tentang Attaturk karena mayoritas orang Turki berada di pihak Attaturk. Sedangkan kubu Erdogan adalah orang-orang yang mendukung diperbolehkannya menggunakan identitas agama dalam kehidupan. Masing-masing wilayah di Turki punya kubunya masing-masing, jadi bisa jadi perlakuan orang terhadap orang yang berhijab berbeda. Tergantung di bawah kubu siapa dia berada. Rupanya pengaruh sekularisme di Turki sudah sedemikian parah, sampai kadang-kadang teman saya ini bingung. Well, kalau di Indonesia, kita sayang sama saudara muslimah kita sehingga banyak yang menasehati mereka untuk berhijab. Di Turki? Kebalik, hehehe… Dia sering ‘diceramahi’ baik di bus, di sekolah, di manapun dia berada (karena kawasan tempat dia mayoritas kubu Kemal). Ibu-ibu protes kepadanya kenapa kamu menutup kepala dengan kerudung? Bahkan pernah ada seorang laki-laki yang menceramahinya selama setengah jam tentang kerudungnya tanpa dia sadari. Karena dia pake headshet di dalem kerudungnya. :D Di sekolah dia tidak punya teman karena cara berpikirnya yang ‘unik’ (padahal Islam memang begitu).
Saat berangkat ke masjid saja, teman Turkinya masih bertanya-tanya “Kamu kenapa harus ke masjid?”
“Sekarang Idul Adha neng”
“No no no, itu pembunuhan binatang (padahal disana kita ngga nyembelih apapun). Tapi boleh lah ada pesta kan ya”
“No, itu bukan pesta, tapi ibadah neng. Sholat Eid”
Dia masih ngga ngerti juga, padahal dia orang ISLAM! Capek deeeh….
Ya, terlalu banyak stereotype yang dialamatkan kepada Islam, terlalu melekat konsep sekularisme pada umat Islam. Yang menjadikan Islam terasing bahkan di dalam komunitasnya sendiri.
Ajaibnya lagi, ada seorang sister yang menggebu-gebu membicarakan tentang diskriminasi Islam, dia punya anak namanya Omar. Dia berhijab. Dia berharap kebanyakan orang berhenti memusuhi Islam. Dan ternyata dia non muslim! Namun dia suka menggunakan hijab. Aneh, tapi nyata..
(Eh, tapi memang banyak juga kan ya yang non muslim pake hijab karena mereka merasa aman)
Setidaknya hal itu menjadikan kita disini harus bersyukur. Bahwa tantangan untuk berIslam secara kaffah di negeri ini belum sampai se-ekstrim negara-negara lain. Bahwa upaya menyadarkan umat akan bahanya sekularisme tidak boleh berhenti, karena itu sangat berbahaya. Bahwa kondisi yang ‘nyaman’ di negeri sendiri tidak boleh menjadikan kita terlena dan bermalas-malasan *cetarrr! Mencambuk diri sendiri.
Bahwa Islam yang kita bawa adalah fitrah, sehingga bisa jadi (seperti banyak yang sudah mengalami) Islam merubah hidupnya 180 derajat. Wallahu alam bishowab…
NB: Saya ada Peer nih dari dosen Polish Culture and History, dia kayaknya pengen tau banget tentang Indonesia. Saya banyak ditanya-tanya selama belajar. Dia ngasih peer untuk bikin presentasi tentang Indonesia, gimana perempuan disana (kemakan stereotype), kira-kira apa yaaa yang harus ditampilkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar